Bagian awal paling menarik dari buku ini adalah cover buku ini sendiri. Di cover buku terbitan kompas ini, terpampang wajah Emha yang digambarkan secara karikaturis, dan dipenuhi dengan goretan kerut usia tua.
Hal ini disadari melalui kutipan ucapannya pada artikelnya halaman 206, "Dan sekarang saya sedang sibuk menyiapkan diri untuk mengikhlaskan bahwa dalam usia yang sudah uzur ini layaknya tak akan terjadi perubahan apapun yang mendasar di negeri kita serta nasib atas saya. Agak pasti bahwa saya akan tetap menjadi orang tertindas seumur hidup, menjadi orang yang tak berguna menjadi pecundang yang dihinakan oleh orang-orang yang menggenggam kemenangan." Nada pesimis ini sendiri diungkapkan atas rasa perhatian dan ikut prihatin dengan nasib para TKI yang ditemuinya di luar negeri, yang digambarkan Emha pada halaman sebelumnya: mereka tidak menyapa saya karena mereka menganggap saya representasi dari Indonesia.
Untungnya ucapan pesimis tadi ditimpalinya dengan, "Semua yang saya lakukan sudah saya anggap tak ada. Semua karya pribadi masih punya harapan yakni melihat masa depan anda yang, masih panjang ...................... Kalau anda mengambil kesempatan untuk menggertak para penindas itu, saya siap turut menambah keras pekikan Anda.
Memang dalam buku ini pernuh warna-warni isi kepala dan hati Emha, rasa prihatin, rasio, sinisme, idealisme, dan ironi campu aduk menjadi satu. Selain itu Emha masih khas dengan gaya nyelenehnya, simak saja kutipan mengenai Abu Nawas pada halaman 80, yang digunakan untuk memperkokoh artikel yang juga berjudul nyeleneh ini, Tuhan Disaingi Manusia. Atau lihat juga pembalikan logika yang manis pada artikel berjudul Ulul Amri.
Emha memang membicarakan apa saja, mulai dari orang gila sampai struktur pemerintahan. Sayangnya cacat buku ini ada pada tidak terteranya tanggal penulisan pada setiap artikel, sehingga agak sulit membacanya dari sisi historisme. Karena memang pada dasarnya karya Emha ini memang perlu dicerna, hal ini diakuinya sendiri pada tulisannya yang berjudul Generasi Kempong.
Sedangkan dalam artikel yang menjadi judul buku ini, Kiai bejo Kiai untung Kiai hoki, setelah Emha memaparkan carut marut keadaan bangsa dia menambahkan: salah satu pameo mebuat rumusan orang bodoh kalah sama orang pandai, orang pandai kalah dengan orang berkuasa, orang berkuasa kalah sama orang kaya, orang kaya kalah sama orang bejo. Setiap Pemerintah Indonesia tidak terkait dengan konstelasi pameo ini, sebab mereka sekaligus pandai, berkuasa dan "bejo".
Data buku:
Judul : Kiai Bejo Kiai Untung Kiai Hoki
Penerbit : Kompas
Cetakan : pertama Juni 2007