16-7-1966 adalah tanggal buku ini ditulis. Buku ini ditulis dalam bahasa arab oleh Pak Quraish Shihab. Quraish shihab sendiri dilahirkan pada 16 februari 1944. Jadi saat menulis buku ini usia Pak Quraish Shihab sekitar 22 tahun 5 Bulan.
Tampaknya bakat Pak Quraish dalam bidang menulis sudah tampak di usia begitu dini. Saya kutip kata pengantar yang ditulisnya dalam usia saat buku ini diterbitkan, maksudnya udah tua (61 tahunan) J :
“Abbas Al-‘Aqqad (1889-1964 M)- salah seorang intelektual mesir yang penulis kagumi-pun mereka sebut-sebut ketika menyatakan bahwa perbedaan usia sering kali tidak ada perbedaan dengan pandangan-pandangannya.” Mereka di sini adalah teman-teman Pak Shihab yang memberi dukungan ketika pak Shihab merasa gundah akan perubahan pandangan dan relevansi isi tulisannya terhadap perbedaan usia sekarang dan saat buku ini pertama kali ditulisnya. Lebih jauh pak Shihab mengutip pernyataan Abbas tua (saat berumur 63 Tahun), “Apa yang aku sampaikan ketika berumur 25 tahun, itulah yang aku ucapkan sekarang atau mirip dengan apa yang aku ucapkan sekarang.”
Dalam mukkaddimah yang dinukilnya kembali, terlihat jelas kegelisahan eksistensial Pak Sihab di usia muda. “Sesungguhnya menyendiri dengan diri sendiri, dan larut pada sudut ketersendirian itu merupakan suatu kenikmatan yang dituju atau merupakan cara yang ditempuh guna menghindari hiruk-pikuk kehidupan serta mengenyahkan kegelisahannya. Telah menjadi kebiasaanku sejak Allah menganugrahkan kepadaku kemampuan tamyiz (membedakan dua hal), serta kesanggupan memilah dan memilih, untuk berusaha meraih kenikmatan itu. Oleh sebab itulah aku sering menemukan diriku membaca suaru buku… Dan sering kali juga aku sering merenung dan membaca diri. Walau terkadang juga, tidak ada dalam hidup ini yang menyenangkan diriku, sehingga aku melihat dunia ini sedih, bahkan memberatkan dan membosankan.”
Ternyata Opung Quraish Shihab pernah juga jadi orang bingung….. J
Jadi dengan kta lain buku ini adalah salah satu jalan membaca Quraish Shihab sewaktu masih muda. Dalam bahasan marxisme sendiri ada yang membagi antara marx muda dan marx tua, pantas gak ya? Kalo kita bilang QS muda dan QS tua. J
Format isi buku ditulis dengan metode diskusi dan dialektis*. Atau dalam bahasa sederhana, tanya jawab antara guru dan murid. Dimulai dari buku yang sedang dibaca oleh QS muda, berjudul inilah Islam, maka diskusi antara guru dan murid dimulai. Ditulis dalam bab kedua tentang perubahan dan evolusi selanjutanya pada bab ketiga tentang Islam dan akal.
Saya akan kutip kembali sesuatu yang bisa jadi menjadi kesimpulan dari diskusi ini, dialog ini terjadi pada ujung bab ketiga dari buku ini (hal 150-152):
Quraish Shihab muda : Kalau nalar tidak bisa menjangkaunya, adakah cara lain yang dapat aku tempuh sehingga aku dapat memahami seluruh ajaran-ajaran agama yang sampai kepada kita?
Mahaguru : Anakku raihlah sebuah hasil yang pantas dan sesuai dengan jenis usaha yang engkau lakukan. janganlah menuntut kepuasan batin dari ilmu berhitung, jangan pula menanti-nanti alasan kongkret dari ilmu ketuhanan …. Dst….
Pahami dan carilah menggunakan akalmu –sekehendakmu dan sekuat kemampuanmu- ajaran-ajaran agama selama ajaran itu memang dapat dijangkau oleh akal. Adapun hal-hal yang tidak dapat dijangkau olehnya maka tempulah cara lain. Itu akan lebih membantumu memperoleh informasi atau paling tidak ketenangan.
Quraish Shihab Muda : Apakah cara itu?
Mahaguru : Ia dikenal dengan Ath-Thariq al-Isyraqy (jalur pencerahan batin)
Quraish Shihab Muda : Apakah itu dan apakah itu mungkin?
Mahaguru : Anakku, jangan bertanya apa yang dinami jeruk manis, tak perlu juga membawanya ke laboratorium untuk mengetahui kadar kemanisannya! Makan dan rasakanlah! Sudah banyak sekali yang menempuh jalan itu dan mereka berhasil menemukan ketenangan hidup. Yakni kepuasan akal dan kalbunya.
Quraish Shihab Muda: Maulaya, sekali lagi, dapatkah pak guru menguraikannya?
Mahaguru : Anakku ia adalah lautan yang amat dalam. “Maha agung Tuhan, sehingga tidak menjadikan jalan yang dapat ditempuh oleh setiap pejalan, atau jangkau hakikatnya oleh seorang setelah seorang. Apa yang dikandung oleh hal ini, dapat menjadi bahan cemoohan si dungu, tetapi menjadi bahan pembelajaran bagi si penuntut (kebenaran). Siapa yang merasa jijik akan ajaran ini (menolaknya) maka hendaknya ia menuduh (kebenaran penilaian) dirinya, karena (itu berarti) ajaran itu tidak sesuai dengan bawaannya. Memang masing-masing telah dimudahkan (untuk menerima dan melakukan) sesuatu yang ia tercipta untuknya.” Demikian Ibnu Sina dalam bukunya Al-Isyarat wa at-attanbihat
Tanya jawab antara guru dan murit itu berhenti sampai di sini, karena hari larut malam, dan dilanjutkan dengan niat untuk melakukan diskusi lebih lanjut. Tetapi pertemuan tersebut tidak terjadi. Sangat disayangkan memang tidak dapat mengetahui pandangan langsung dari sang mahaguru tentang Ath-Thariq al-Isyraqy tadi, dalam buku ini. Akan tetapi Quraish Shihab menambahkan satu bab mengenai Ath-Thariq al-Isyraqy dalam format uraian, bukan tanya jawab lagi dalam bab ke-4. Selanjutnya dalam bab ke-5 ditulis mengenai guru spritual/musyid. Pada bab ke-6 ditulis tentang wali dan kekeramatan dan diakhiri dengan kutipan pesan sufi dalam bab ke-7.
Data buku:
Pengarang : M. Quraish Shihab
Judul : Logika Agama, kedudukan wahyu dan batas-batas akal dalam Islam.
Penerbit : Lentera hati, seri 04
Cetakan : pertama, oktober 2005
Buku : 223 hal ; 20,5 cm
Alamat situs: www.lenterahati.com
Dalam Teologi Al_Ghazali, pustaka pelajar, Dr. HM. Zurkani Jahja menulis : Dalam sejarah pemikiran teologi Islam para pemikir sejak beberapa abad sebelum Al-Ghazali telah menggunakan beberapa metode pemikiran, baik dalam memformulasikan pokok-pokok akidah dari sumbernya, maupun untuk menjadikannya sebagai keyakinan dalam diri umat yang membutuhkannya. Secara umum, metode-metode tersebut adalah sebagai berikut: 1.metode rasional 2. Metode tekstual 3. Metode moderat 4. Metode dialekris 5. Metode intuitif
Meode Dialektis yaitu metode debat untuk mempertahankan kebenaran pendapat sendiri dan mematahkan pendapat lawan, baik secara rasional (yang banyak digunakan) maupun tekstual. Metode ini bisa disebut metode skolastis deduktif dalam filsafat. Metode ini pada umumnya dipergunakan oleh para teolog Asy’arisme dan maturidisme.