lalu, tiba-tiba gelap
semua cahaya padam
semua yang dihidupkan manusia: mati.
langit sisa senja mencetak ujung cemara,
puncak-puncak menara, gunung semua derita.
kilat mengerjap di semua saat
teriakan dan sumpah malaikat
memotret bumi yang roboh sekarat:
kafilah tumbang rajaraja mangkat
tertinggal melulu rakyat melulu jema'at
dan pundi-pundi berkarat.
lalu, tiba-tiba badai
hujan dan angin menggeram
yang tinggi patah yang kuasa kalah
yang berpikir yang berani menyerah
semua habis sudah semua rebah telah
tertinggal melulu hawa melulu nyawa :
cerita dan sejarah tak terbawa
waktu dan cerita monyong tertawa
tubuh tergesa mencari jiwa mencari jiwa.
lalu, tiba-tiba meledak
semesta terbuka begitu mendadak
pintunya neraka kuncinya surga
yang mulia terpana yang jelata terlena,
sisa samudera mengalirinya : jembatan air
bagi segala getir segala dzikir
bagi pengelana tanpa nama tanpa akhir:
langit dan tanah cuma batas berpikir
maka, jasad tinggal tergenang
dan jiwa melayang tanpa kenang.
lalu, tiba-tiba diam
do'a do'a terbang tanpa gerak
katakata tak huruf tak berteriak
ruang berhenti, tak mengembang
yang tumbuh usai, tak berkembang
waktu bisu, jarak tersisa pandang
tak ada pergi tiada kembali
semua yang bertepi tertinggal sunyi
tertinggal batu, yang sepi.
lalu, tiba-tiba bunyi
tanpa telinga tak ada arti
namanama sembunyi takjadi diri
cuma lengking di tiap inci, di semua hati
nasib mengintip ingin jadi kecuali,
tiada-tapi tiada-tapi tiada-tapi.
lalu, tiba-tiba usai
bunga kembang tanpa warna: bunga air
wanita bunting anak tak lagi lahir
langit tumpah bumi cuma sebutir
apalagi yang terakhir?
lalu, tiba-tiba lenyap
lalu, tiba-tiba aku
Aku.
Besancon, 1998
Puisi Oleh: Radhar Panca Dahana