Saat kanak-kanak, ia gemar melihat dirinya dalam cermin di kamar Ibu.
''Itulah kamu,'' kata si Ibu seraya menerbangkan seekor burung ke dalamnya.
Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya merah muda.
''Sebagai teman, tentu, bila Ibu tak ada.''
Saat ia mulai remaja, cermin itu dipindahkan Ibu ke kamarnya.
Setiap ia berkaca, burung itu berkicau berputar-putar di atas kepala.
Apakah yang dikatakannya?
Atau adakah yang diinginkannya?
Bila dirinya tak ada, kadang ia merasa burung itu kesepian;
dan tentu menderita.
Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja, ia mulai jarang berkaca.
Burung itu, entah memang karena ia lupa, jarang pula tampak olehnya.
Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, mereka bagai bukan bagian dari bersama.
Tapi suatu ketika, dalam usia separo baya, ia melihatnya.
Burung jelek, kusam, tak ubahnya kelebat suram dalam hidupnya.
Betulkah itu dia?
Kini ia telah tua.
Di depan cermin, pedih, ia sering merindukannya.
Burung itu -- burung itu, memang, sebenarnya tak pernah ada.
Payakumbuh, 1997
Puisi Oleh: Gus tf Sakai