Dulu hiduplah seorang manusia yang disalibkan karena terlalu kasih dan dikasihi. Dan, aneh untuk diceritakan, aku bertemu Dia tiga kali kemarin. Yang pertama Dia sedang meminta polisi jangan membawa seorang pelacur ke penjara; kedua kali Dia sedang meminum anggur dengan seorang yang terbuang; dan ketiga kali Dia sedang bertinju dengan seorang promotor di sebuah gereja.
“Wahai, keberanian, inilah pedangmu, kini telah terkubur di dalam tanah. Wahai Cinta, inilah bunga-bungamu hangus terbakar api! Wahai Yesus inilah Salib-Mu, runtuh di tengah kegelapan malam!”
Rasa pedih dan derita kesepian justru makin kuat di tengah orang banyak. Ini kebenarang hakiki. Sering sekali seseorang bercakap-cakap, bertukar ide, berbagi pendapat dan tindakan bersama teman-teman dan mereka mengira ia sehat, padahal semua ini dia lakukan tidak dengan tulus dan sepenuh hati, justru gagal melebihi batas “diri” yang ia peroleh dalam jagat penampilan. Sementara itu, “Diri” yang lain, yang tersembunyi, diam saja dan dalam jagad asalnya.
Kemarin, bagiku engkau seperti seorang saudara, yang dengannya aku tinggal, dan di sini aku duduk di dektanya dengan sopan di bawah pengawasan ayah. Kau dan aku dapat merasakan kehadiran sesuatu yan lebih manis dari sekadar tali persaudaraan, yaitu percampuran antara cinta dan ketakutan yang memenuhi hatiku dengan penderitaan dan kebahagiaan.
Kesunyian memiliki tangan-tagan yang halus bagai sutera, namun dengan jemari yang kuat ia mencengkram hati dan menyakiti dengan derita. Kesunyian adalah sekutu derita sekaligus sahabat ketinggian jiwa.
Karena kehidupan itu telanjang, tubuh yang telanjang merupakan simbol kehidupan yang paling benar dan mulia. Jika saya menggambar gunung sebagai sekumpulan yang jatuh, hal itu adalah karena saya melihat di gunung ada kumpulan sesuatu yang hidup, dan di dalam air terjun ada kehidupan yang mengendap.
Sekarang masjid dan gereja-gereja – juga batu Ka’bah, Qur’an dan Injil – bahkan tentang seorang martir, semua ini bias diterima hatiku karena agamaku adalah cinta dan hanya cinta.
Inilah sejarah manusia: lahir, kawin, dan mati. Dulu begitu. Lalu muncul orang gila dengan gagasan aneh dan menceritakan impian dari dunia lain yang berpenduduk lebih berbudaya. Sederhana saja: sejarah manusia bukan hanya lahir, kawin, dan mati saja.
Pandangan pertama kekasih adalah seperti sang jiwa yang digerakkan di atas permukaan air, yang dialirkan ke langit dan ke bumi. Pandangan pertama teman hidup menggemakan kata-kata Tuhan, “Biarkan saja adanya…”
Aku mencintai hujan salju persis seperti aku mencintai badai. Aku akan keluar, sekarang juga akan berjalan memasuki badai putih itu. Tapi aku tidak akan berjalan sendirian.
“Tuhanku, arah tujuanku dan kepuasanku; aku adalah hari kemarinmu dan Dikau adalah hari esokku. Aku adalah akarmu di bumi dan Dikau adalah bungaku di langit, dan bersama-sama kita tumbuh di depan wajah matahari.”
Di padang yang cantik penuh dewa dewi tiadalah agama, dan tiada pula kekafiran. Tiada pula warna kepercayaan, karena tatkala burung hantu bernyanyi semua keelokan dan kebahagiaan dan agama, dan roh disejukkan dan balasannya adalah kedamaian. Berikan seruling itu kepadaku dan biarkan aku bernyanyi. Ibadah adalah musikku, cinta adalah taliku.
Air mata laki-laki tua itu lebih kuat daripada air mata seorang pemuda, karena air mata itu merupakan endapan sisa-sisa kehidupan dalam tubuhnya yang renta. Air mata seorang pemuda laksana setetes embun pada daun bunga mawar, sementara air mata orang tua laksana sehelai daun kuning yang jatuh bersama angin menjelang musim dingin.
Ibu adalah segala-galanya. Dialah penghibur kita dalam kesedihan, tumpuan harapan kita dalam penderitaan, dan daya kekuatan kita dalam kelemahan. Dialah sumber cinta kasih, belas kasihan, kecendrungan hati, dan ampunan. Barangsiapa kehilangan ibunya, hilanglah sebuah jiwa murni yang memberkati dan menjagainya siang dan malam.
Kata paling indah di bibir umat manusia adalah kata “ibu”, dan panggilan indah adalah “ibuku”, ini adalah kata penuh harapan dan cinta, kata manis dan baik yang keluar dari kedalaman hati.
Tak banyak orang dewasa yang bisa melihat alam. Pencinta alam adalah dia yang perasaannya luar-dalam sungguh sesuai satu sama lain; yang telah pelihara spirit masa kecil bahkan sampai memasuki era manusia dewasa.
Ketika tangan kehidupan terasa gelap dan malam tak bernyanyi, itu waktu untuk cinta dan kepercayaan. Saat itu tangan kehidupan akan bersinar dan bernyanyi, tatkala seseorang mencintai dan mempercayai seutuhnya.
Aku mengagumi orang yang membuka pikiran kepadaku; aku hormati dia yang mengungkap impian-impiannya. Tetapi kenapa aku tersipu, bahkan sedikit malu, di muka dia yang melayaniku?
Ketika jiwa seesorang akan menetap dalam wilayah pikiran-pikiran yang bergerak, dia akan kehilangan kekuatan kata-kata. Tetapi aku masih akan mengatakan kepadamu sepanjang waktu kekasihku. Dan aku akan selalu tahu yang kau ketahui sehingga kita akan berjalan dan bercakap-cakap bersama.
Kucintai dirimu karena kebenaran, yang kau timba dari khasanah ilmu, sedangkan kebenarannya masih tertutup bagiku, karena aku dungu. Namun kuhormati kebenaran itu sebagai unsur Illahi, langkah yang bersifat rohani. Kebenaranmu akan bertemu dengan kebenaranku, dalam alam tanpa tepi yang menjelang, lalu berpadu meramu diri bagaikan semerbak harum bunga, dan menjadi kebenaran tunggal dan abadi, dalam kehidupan abadi cinta kasih dan keindahan.
Dia mencari penyatuan bersamaku di istana kejayaan, yang dia bangun di atas tengkorak kelemahan, atau dalam emas dan perak. Tetapi aku akan muncul padanya di rumah sederhana yang dibangun Tuhan, di atas gundukan arus-arus perasaan. Kekasihku mencintaiku dan mencariku dalam ciptaan-ciptaan Tuhan.
Aku berkata kepada Kehidupan ”Aku ingin mendengar Kematian berbicara.” Dan Kehidupan mengeraskan suaranya sedikit dan berkata, ”Kini kamu dendengar dia.”
Wahai sahabat-sahabat masa mudaku degan nama Perawan Suci aku meminta kepada kalian untuk meletakkan setangkai kembang di pusara cintaku, karena dengan itu kalian akan menjadi fajar, dari malam-malamku yang gelap dan dingin, membawa sinar yang hangat dan menyuguhkan embun penyegar bagi mawarku yang kering.
Mereka mengira Kebajikan adalah sesuatu yang mengganggu dan meringankan hati tetanggaku, dan dosa adalah sesuatu yang meringankan hatiku dan mengganggu tetanggaku. Biarlah mereka tahu bahwa aku dapat menjadi orang suci atau pendurhaka yang jauh terpencil di pertapaanku.
Betapa bodohnya orang yang melihat eksistensi abstrak dengan sebagian inderanya, namun tetap ragu dan menunggu hingga ia menampakkan diri pada semua indera! Bukankah iman adalah indera hati sebagaiman pandangan pada mata?
Mereka berkata padaku, “Kamu dan dunia hanyalah sejumput pasir di pantai maha luas dari laut tanpa tepi.” Dan dalam mimpiku “Akulah laut tanpa tepi itu, dan semua dunia hanyalah butir-butir pasir di pantaiku.”
Dalam perjalanan ke Kota Suci aku bertemu seorang peziarah dan bertanya, “Benar inikah jalan menuju ke Kota Suci?” Dan dia berkata “Ikuti aku, dan kau akan sampai dalam sehari dan semalam.” Dan kuikuti dia. Dan kami berjalan berhari-hari dan bermalam-malam, tidak juga kami sampai ke Kota Suci. Dan takjublah aku, ia menjadi marah karena telah menyesatkanku.
Aku juga dikunjungi oleh malaikat dan iblis tapi aku usir mereka. Bila dia malaikat aku ucapkan doa lama, dan dia menjadi bosan; Bila dia iblis aku kerjakan dosa lama, dan dia meninggalkanku. Bagaimanapun ini bukan perjara yang jelek; tetapi aku tidak menyukai dinding yang ada ini antara selku dengan sel tahanan sebelah; yakinlah bahwa aku tidak akan mencela sipir atau pembangun penjara ini.
Rumahku berkata padaku, “Jangan tinggalkan diriku, karena di sini tinggal masa lalumu.” Dan jangan berkata padaku, “Mari ikuti aku karena akulah masa depanmu.” Dan aku berkata pada rumah dan jalan, “Aku tak memiliki masa lalu, atau masa depan. Bila aku tinggal di sini, aku pergi sementara aku tinggal, dan bila aku pergi aku tinggal sementara aku pergi. Hanya kasih dan mati mengubah segalanya.”
Sia-sia penyair mencari ibu lagu-lagu jiwanya. Pernah, pada seorang penyair aku berkata “Takkan kita tahu nilaimu sebelum aku mati.” Dan bila dia mwnjawabnya, “Benar, kematian mengungkapkan segalanya. Andaikan engkau ingin tahu nilai itu, dalam kalbuku tersimpan lebih dari yang mampu kututurkan. Dan dalam hasratku terkandung lebih banyak makna ketimbang yang tergenggam.”
Bukankah aku telah bertahan hidup terhadap lapar dan dahaga, penderitaan dan penghinaan, demi membela kebenaran yang telah dibangun Tuhan dalam hatiku?