Karena engkau tak mampu mengemban Cahaya yang terbuka, minumlah kata-kata Hikmah, karena cahayanya terselubung.
Hingga akhirnya engkau mampu menerima Cahaya, dan melihat apa yang kini tersembunyi tanpa kerudung.
Serta melintasi langit laksana sebuah bintang; bukan, perjalanan mutlak, tanpa angkasa.
Demikianlah engkau menjadi ada dari ketiadaan. Bagaimana engkau datang? Engkau datang secara tak sadar.
Jalan kedatanganmu tak engkau ingat, namun aku ingin memberimu sebuah tanda.
Biarkanlah pikiranmu pergi, kemudian waspadalah! Tutuplah telingamu, kemudian dengar!
Tidak, sebaiknya aku tak bercerita, karena engkau masih mentah; engkau masih dalam musim semimu, engkau tak dapat melihat musim panas.
Dunia ini laksana pohon: kita adalah laksana buah yang setengah matang melekat padanya.
Buah-buah yang masih mentah melekat erat pada cabang pohon, karena untuk Istana mereka belumlah pantas;
Namun ketika mereka ranum dan menjadi manis serta lezat – maka, mereka akan kehilangan cabang.
Sama seperti kerajaan duniawi yang akan kehilangan kelezatannya bagi mereka yang mulutnnya telah menjadi manis oleh kebahagiaan yang tiada terkira.
Ada yang tetap tak terkisah, namun Ruh Qudus akan menceritakan kepadamu tanpa aku sebagai perantara.
Bukan, engkau akan menceritakannya kepada telingamu sendiri – bukan aku ataupun orang lain, Wahai engkau yang bersatu denganku –
Seperti, ketika engkau tertidur, engkau pergi dari hadapan dirimu ke hadapan dirimu
Dan mendengar dari dirimu bahwa apa yang engkau pikirkan diceritakan secara rahasia kepadamu oleh seseorang dalam mimpi.
Wahai teman yang baik, engkau bukanlah ”engkau” semata: engkau adalah langit dan lautan yang dalam.
Kekuasaan ”Engkau”-mu yang maha luas adalah lautan yang di dalamnya ribuan ”engkau” tenggelam.
Janganlah berbicara, hingga engkau dapat mendengar dari Sang Pembicara apa yang tak dapat diucapkan atau dibayangkan.
Janganlah berbicara, sehingga Ruh mau bercakap padamu: dalam bahtera Nabi Nuh berhentilah berenang!
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1286