lalu bebatuan itu merintih. sejak kemarin matahari
memukul-mukulkan wajahnya di bebatuan. di sungai
yang mengalirkan darahnya
kubaca keperihan dunia: aku tak tahu di mana
lagi kusimpan kesumat ini?
begitu jauh aku terdampar. di pulau yang tak lagi mengenalku
bahkan aku makin asing pada pesta kematianku yang bakal tiba
ingin kumasuk lebih dalam untuk mengaduk-aduk udara
yang beku! Tuhan, di dunia-Mu yang semarak ini kenapa
aku seperti tak mencium aroma manusia?
lalu bebatuan itu merintih. matahari memandang
garang di ujung jalan yang akan memisahkan dunia ini
dengan lain dunia. aku tak lagi paham dengan suara
merdu dan rintihmu. ketika ranjangku bertengkar
dengan maut di malam sunyi itu
inilah perjalanan panjang bagi bebatuan. setelah hari-hari
ditikam sejuta pisau waktu. tak ada lagi sesal dan harapan
udara telah membawa senyum dan tangis pelayat
ke dalam doa yang beterbangan
lalu bebatuan itu merintih. tak ada lagi senyum
yang dinyanyikan sungai, kecuali taman
menjelma tiba-tiba
1995
Puisi Oleh: Isbedy Stiawan ZS