24/10/2007

Miftahul Asror: Tobat Ala Abunawas

Miftahul Asror: Tobat Ala Abunawas
Tobat ala Abu Nawas hanya merupakan salah satu bagian dari sembilan kisah pertobatan yang dimuat di buku ini. Memang buku ini gambar depannya tidak begitu bagus, dan bahkan secara lengkap di sampul depannya terpampang judul Tobat ala Abu Nawas; kisah-kisah teladan buat anakku. Tapi mungkin maksudnya bukan cerita khusus buat anak-anak, tetapi untuk remaja-dewasa bahkan orang tua yang dianggap sebagai anak, karena yang biasa buat dosa kan bukan anak-anak. :)
Ketika mendengar kata “ala” itu, maka bayangan kita akan dibawa ke pengertian bahwa ada sesuatu yang khas dari tobatnya si cerdik pandai yang agak bandel ini. Dalam bagian tentang kisah tobatnya Abu Nawas ini ada puisi/ syair yang secara cerdik di ungkapkannya sebagai pernyataan tobat, syair ini memang sudah sering kita dengarkan sehari-hari dalam lagu bernuansa islami. Syair ini berjudul Al’-I’tiraf (M. Asror, tobat ala Abu Nawas, hal 4):

Ya Allah, aku tidak pantas menjadi ahli surga
Namun aku tidak kuat di atas api neraka yang menyala


Terimalah tobatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya engkau mengampuni dosaku yang besar


Dosa-dosaku banyak bagai pasir,
Karena itu terimalah tobatku wahai Ilahi yang maha agung


Umurku setiap hari berkurang
Sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku harus menanggungnya?


Ilahi, hambamu yang berdosa ini telah datang padamu
Dengan ketetapan dosa-dosa memohon pada-Mu


Apabila engkau mengampuni (dosa-dosaku) maka aku pantas menjadi ahli surga.
Namun apabila engkau menolak, kepada siapa lagi aku berharap selain kepada Mu
Sering didengar bukan? Memang, syair ini karena bagusnya jalinan kata dan makna yang terkandung didalamnya juga sering dibuat sebagai lirik sebuah lagu. Syair ini menjadi terasa oke karena ada kesan suatu pemaksaan kehendak pada Tuhan dalam doa yang disampaikan secara cerdas ini. Tetapi syair ini juga mengandung nilai yang sangat tinggi. Sungguh, ini adalah sebuah pengakuan yang jujur, pengakuan akan kelemahan dan harapan. Pengakuan dari keinginan dan kelemahan manusia itu sendiri. Tapi bukankah itu suatu yang manusiawi?
Benar bukan, kalo syair doa tadi maksa banget, kayak laki-laki yang sering berdoa’, “Ya Ilahi kalau memang dia jodohku dekatkanlah ia padaku dan jadikan kami sepasang suami isri yang membangun keluarga sakinah, kalau bukan jodoh jadikan ia jodohku….”
Dalam tulisan selanjutnya mengenai syair terakhir Abu Nawas, diceritakan Muhammad Bin Nafi’ bermimpi bertemu Abu Nawas, dan dalam percakapannya Abu Nawas mengatakan: “Baiklah, Allah telah mengampuni dosaku karena syair-syair yang kulantunkan sewaktu aku masih sakit menjelang kematianku. Syair itu disimpan di bawah bantal tempat tidur yang aku pakai.”
Adapun syair tersebut berbunyi sebagai berikut:

Ya Tuhanku! Dosa-dosaku memang besar dan banyak sekali. Namun kutahu, engkaulah tuhanku Yang Maha pengampun segala dosa.

Tiada orang yang berharap pengampunanmu, kecuali orang-orang yang sadar akan dosanya.

Ya Tuhanku, aku memohon kepadamu sebagaimana yang engkau perintahkan.


Bila engkau berkehendak, maka sayangilah diriku ini.
Hanya engkaulah tumpuan harapan pengampunan segala dosa dan hanya kepada keindahan pengampunanmu, aku berserah diri.


Hampir sama dengan syair Al’-I’tiraf tadi, tetapi dalam syair ini isi syair diperluas dan lebih tajam. Setidaknya ada tiga hal pokok dari puisi ini, pengakuan akan dosa, keyakinan akan adanya ampunan Tuhan, ungkapan permohonan meminta ampunan dan terakhir, akhirnya kembali pada pengharapan dan rasa berserah diri.

Cerita tentang tobatnya Abu Nawas merupakan hanya salah satu dari sekian banyak cerita pertobatan yang lain. Dalam buku ini juga terkandung cerita pertobatan malaikat, para rasul dan kaumnya. Ternyata tobat ini bukan hanya haknya kaum yang “manusiawi banget” tetapi bahkan malaikat dan rasul pun tak lepas dari kesalahan. Malaikat yang melakukan kesalahan ialah Harut – Marut (ada catatan bahwa masih kontroversi sebagai cerita israiliat), cerita ini begitu terkenal dan seringkali diceritakan di ceramah-ceramah keagamaan untuk menjelaskan betapa berat godaan manusia dan betapa luas ampunan ilahi. Tentang nabi yang bertaubat yang dicatat di buku ini antara lain adalah nabi Adam AS, nabi Nuh dan nabi Yunus yang juga melakukan pertaubatan.
Dosa memang tidak memandang jabatan, kekuasaan, harta dan kedudukan seseorang. Berbagai jenis manusia juga melakukan dan mengerjakan dosa. Dalam buku ini selain tobatnya si Abu Nawas, malaikat dan nabi serta kaumnya tadi, juga dapat dibaca dan direnungkan kisah pertaubatan lain yang menyentuh segala lapisan kalangan. Seperti taubatnya para sahabat rasullullah, tobatnya para penguasa daulah islamiyah, tobat orang-orang shalih (orang shalih juga bertobat :)), tobat orang-orang sufi dan zuhud. Selain itu buku ini juga memuat rona-rona tobat dan serba-serbi kisah tobat diantaranya kisah pendakwah di bandara serta di diskotik dan tobatnya (konversi keyakinan) petinju Mohammad Ali.
Bagian terakhir dari buku ini adalah penjelasan tentang konsep tobat itu sendiri. Pengarang mengutip kitab ushulluddin jilid IV dari hujjatul islam Imam Al-Ghazali bahwa, tobat itu sendiri dibagi dalam empat tingkatan:
Tingkatan orang bertobat dan istiqomah.
Tingkatan orang yang bertobat dengan istiqomah dalam hal menaati perintahNya yang pokok atau utama dan meninggalkan segala dosa besar.
Orang yang bertoubat dan tetap istiqomah selama beberapa saat saja dan kembali dapat dikuasai oleh nafsu untuk mengerjakan dosa dan dikerjakannya karena memperturutkan kehendak hati dan tidak sanggup menguasai nafsu.
Orang yang bertobat dalam waktu yang amat singkat dan kembali berbuat dosa tanpa dibarengi oleh dosa dan penyesalan.
Sekarang pertanyaan yang timbul adalah, berada di posisi manakah kita? Atau mungkin pada posisi orang yang belum bertaubat atau bahkan pada posisi orang yang tak perlu bertaubat atau
masih pada tingkatan orang yang merasa tak perlu bertaubat…. :)

Data Buku :
Judul : Tobat ala Abunawas
Penulis : Miftahul Asror
Penerbit : Mitra Pustaka
Cetakan : kedua, desember 2005
Buku : xvi + 267