Desain sampul dari buku kumpulan cerpen ini menurut saya sangatlah bagus. Dan saya juga menyukai perpaduan warnanya, hijau campur hitam. Asyik aja jika dilihat dan judulnya juga dituliskan dengan font lentur, seperti garis-garis kaligrafi atau coretan huruf dalam tulisan kaligrafi zen.
A. Mustofa Bisri pernah dikatakan dalam harian Jawa Pos, mengakui kalau ada sebagian dari syair-syair/ puisinya yang ditulis dengan gaya guyon dan tidak terlalu serius, dalam kata lain dibawakan secara sersan (serius santai). Hal ini juga begitu tampak di salah satu cerpennya yang berjudul “Iseng”. Entah iseng atau tidak A. Mustofa Bisri ini berusaha menelanjangi kelemahan manusia. Dalam cerita, dikisahkan seorang kiyai teringat dengan temannya di Kairo sewaktu masih muda dahulu, dan melamunkan kecantikannya dan segala keelokan yang memikat hati. Tetapi pada akhir cerita dikisahkan kembali pertemuan dengan si wanita tersebut dalam satu mimbar pengajian, tentu saja, karena telah berpisah selama tiga puluh tahun perbedaan yang terjadi benar-benar mencolok dan kontras. Semula sang wanita digambarkan ayu dan menggairahkan buat jantung berdebar-debar dan menjadi rebutan kaum pria (kayak si Aya dalam PPT kalek… :)), setelah itu, setelah berpisah selama tiga puluh tahun digambarkan sebagai wanita gemuk, tua, memakai kaca mata, dan memakai jilbab yang dipadukan dengan selendeng seperti yang banyak terlihat pada para penceramah wanita yang sudah berumur. Menyajikan kelemahan wanita, dan juga berarti kelemahan manusia secara keseluruhan bukan? Tapi cerita seperti ini juga benar-benar kelihatan seperti cerita iseng. Entah isengnya pada khayalan si tokoh utama dalam cerita, iseng menceritakan kelemahan fisik manusia, atau iseng bercerita pengalaman pribadi penulis sendiri, entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
Untuk karyanya yang berjudul lukisan kaligrafi diceritakan bahwa salah seorang pelukis – perlu diketahui, A. Mustofa Bisri juga pelukis - dia diminta sohibnya untuk melukis lukisan kaligrafi, dengan ragu akan kualitas lukisannya ia menyertakan lukisan dalam pamerean yang diadakan oleh temannya yang pelukis tersebut. Dan ternyata, banyak diminati dan berharga mahal. Muncullah spekulasi dan pandangan tentang sebab menjadi tingginya kualitas lukisan tersebut, baik dari orang luar maupun si penulis tersebut. Nah dari berbagai anggapan tersebut ada yang sangat mencolok, ternyata si pelukis tadi ingin melukis lafaz ALLAH (dalam huruf hijaiah) dan karena kecelakaan si pelukis melukis huruf alifnya terlalu tengah dan akhirnya yang dilukis hanya huruf alif saja. Dan huruf alif ini, ternyata ada semacam aura dan kekuatan pada lukisannya.
Nah, bagi anda yang pernah membaca cerita sufi, ada suatu cerita ada seorang sufi meminta untuk belajar menulis huruf hijaiyah, maka diajarilah oleh sang guru untuk menulis huruf-huruf hijaiah. Sang sufi tersebut akhirnya menyepikan diri untuk belajar sendiri menulis huruf tersebut. Sampai suatu saat, sang sufi kembali pada guru tersebut dan menunjukkan kebolehannya. Dia menulis huruf alif di papan tulis dan rubuhlah tembok tempat ia menulis tersebut! Ini dikarenakan begitu tekunnya ia memfokuskan diri pada menulis huruf tersebut, walau hanya satu huruf alif –si sufi tadi memfokuskan diri pada menulis alif saja- dan saking tekunnya alifnya saja mampu merubuhkan tembok. Nah mungkin dari cerita tentang lukisan tersebut ada hubungan dengan cerita sufi ini. Cerita sufi tersebut mungkin hanya sebuah metafora belaka betapa walau satu alif memiliki kekuatan yang dasyat, tetapi pada karya seni dapat dikatakan bahwa satu alif itu bahkan bisa lebih menarik dari berbagai huruf yang dihias asalkan ada aliran kekuatan aura dari goresan kuas si pelukis.
Sayangnya dalam beberapa karya A. Bisri sering terdapat kesamaan alur cerita, memang bila di publikasikan dalam rentang waktu yang berbeda akan tetap menarik, tetapi bila cerpennya sudah masuk ke dalam kumpulan cerpen dan dibaca secara berurutan, maka akan sangat jelas sekali persamaan tersebut. Persamaan yang dimaksud adalah pola cerita si pencerita (tokoh utama) menjalankan suatu kejadian unik dan nyeleneh dan kemudian diberi penjelasan atas hal yang dilakukan oleh si tokoh tersebut. Tampaknya A. Mustofa Bisri ingin meluruskan cara pandang umat melalui cerpen-cerpennya tersebut.
Dalam cerita yang berjudul wanitaku dibawa jibril juga terdapat kesamaan tema dengan novel karya Muhidin M. Dahlan yang berjudul “Tuhan, izinkan aku menjadi pelacur”. Dalam cerita pendek tersebut A. Mustafa Bishri juga menceritakan terjadinya perubahan pandangan/ keyakiinan yang semula merupakan penganut agama yang kukuh, saklek dan terkesan esklusif menjadi seorang yang mengikuti aliran yang antah berantah yang gurunya mengaku sebagai titisan jibril. Sebuah kritik sosial sebenarnya.
A. Mustofa bisri sendiri termasuk sastrawan yang dekat dengan kehidupan pesantren. Sebagian besar pendidikannya adalah di pesantren dan pernah belajar di Al-Azhar University, Cairo.
Untuk menafsirkan beberapa cerpen A. Mustofa Bisri ini bagi orang luar, maksudnya orang luar pesantren, memang harus berhati-hati karena dalam beberapa cerpen ini terdapat unsur-unsur mistik dan bahkan klenik di sana. Juga pada salah satu cerpen yang masuk dalam cerpen pilihan kompas tahun 2002 yang berjudul “Gus Jakfar” cukup sulit untuk memahami dan mengadili tokoh bernama kiai tawakkal dalam cerpen ini. Penafsir/ pembaca harus benar-benar jeli dalam memperkirakan apakah hal-hal ghaib yang diungkapkan dalam beberapa cerpennya tersebut memang benar-benar terjadi atau hanya sebagai bahasa simbolik belaka. Karena bagi pembaca luar pesantren yang belum familiar dengan hal-hal ghaib yang diceritakan di dalam beberapa bagian cerpen ini, paling tidak akan mengernyitkan kening ketika membacanya. Tapi paling tidak bisa juga menjadi sedikit rujukan terhadap dunia pesantren.
Data buku:
Judul : Lukisan Kaligrafi, kumpulan cerpen
Penerbit : Penerbit Kompas
Pengarang : A. Mustofa Bishri
Cetakan : Pertama September 2005, kedua Juni 2005
Buku : x + 134