17/11/2007

Serangkai Puisi Jalaluddin Rumi

Dalam The Reconstruction of Religion Thought in Islam (Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah rekonstruksi pemikiran agama dalam Islam), Muhammad Iqbal setidaknya tiga kali memuat puisi Jalaluddin Rumi. Tampaknya Iqbal begitu mengagumi dan mengikuti tokoh besar dikalangan penyair Persia ini. Juga seorang Indonesia yang namanya Ahmad Dhani, jagoan lirik dan aransemen di blantika musik tanah air, sering menyinggung dan bahkan dipengaruhi sosok yang satu ini. Juga Anand Krishna banyak buku-bukunya yang mengupas syair-syair Rumi ini. Dan tak bisa dipungkiri kalau Jalaluddin Rumi itu sendiri boleh dikata sebagai yang terbesar di antara para penyair, khususnya penyair sufistik. Bukunya seperti Masnawi dan Fihi Ma Fihi bahkan terus dibaca sampai abad ini.

Dalam tradisi Jepang ada yang dinamakan seni merangkai bunga, ikebana. Nah kalau serangkai puisi di bawah ini adalah dari “bunga” dengan warna-warna yang sama. Semoga bisa sedikit menjadi gambaran “Siapa” tokoh yang satu ini melalui warna dan aromanya…


Tetap Ingkar

Apabila ada yang mengatakan kepada janin di rahim, “Di luar sana
ada sebuah dunia yang teratur,
Sebuah bumi yang menyenangkan, penuh kesenangan dan makanan,
luas dan lebar;
Gunung, lautan dan daratan, kebun buah-buahan mewangi, sawah
dan ladang terbentang,
Langitnya sangat tinggi dan berbinar, sinar mentari dan cahaya bulan
serta tak terkira banyaknya bintang;
Keajaibannya tak terlukiskan: Mengapa kau tetap tinggal, mereguk
darah, di dalam penjara yang kotor lagi penuh penderitaan ini?
Janin itu, sebagaimana layaknya, tentu akan berpaling dan tak percaya
sama sekali; karena yang buta tak memiliki imajinasi
Maka, di dunia ini, ketika orang suci menceritakan ada sebuah dunia
tanpa bau dan warna,
Tak seorang pun di antara orang-orang kasar yang mau mendengar
kannya; hawa nafsu adalah sebuah rintangan yang kuat dan
perkasa -
Begitupun dengan hasrat janin akan darah yang memberinya makanan -
an di tempat yang hina
Merintanginya menyaksikan dunia luar, selama ia tak mengetahui
makanan selain darah semata.

Masnawi III, 53


“Sebuah Tidur dan Keterlenaan”

Seseorang yang tinggal bertahun-tahun di suatu kota, setelah ia
tertidur segera,
Melihat kota lain yang penuh kebaikan dan keburukan, serta kotanya
sendiri hilang dari pikirannya.
Ia tak pernah berkata pada dirinya, “Ini sebuah kota baru: aku
adalah seorang yang asing di sini”;
Sebaliknya, ia membayangkan selalu tinggal di kota ini, dilahirkan
dan dibesarkan di sini.
Apakah mengherankan apabila, kemudian, jiwa tak ingat lagi akan
kampung halamannya dan tanah kelahiran,
Karena ia lelap saat di dunia ini, bagai sebuah bintang diselimuti awan? -
Apalagi saat ia melangkahkan kaki di berbagai kota dan debu yang
menutupi penglihatannya belum tersapu.
Masnawi IV, 3628.
(catatan, puisi di atas bisa dibandingkan dengan prosa pendek suharwadi, merak sang raja.)
Hikmah Kesengsaraan
Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat selama
menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan, merintih terus
menerus tiada henti,
“Mengapa engkau letakkan api di bawahku? Engkau membeliku:
Mengapa kini kau siksa aku seperti ini?
Sang istri memukulnya dengan penyendok. “Sekarang,” katanya,
“jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari
yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan
kebencian-ku; sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lebih lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup: kesengsaraan
bukanlah penghinaan.
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam
kebun : air minum itu demi api ini.
Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada permukaan-Nya, tujuannya
Bahwa dengan kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.
Kasih-Nya yang mendahului permukaan-Nya itu supaya sumber peng-
hidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, ber
firman, ‘Sekarang engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai.’
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud
ataupun diri tak tersisa padamu lagi.
Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi
makanan dalam mulut dan masuk ke kehidupan.
Jadilah gizi, energi, dan pikiran! Engkau menjadi air bersusu: Kini
jadilah singa hutan!
Awalnya engkau tumbuh dari sifat-sifat Tuhan; kembalilah kepada
Sifat-sifat-Nya!
Engkau menjadi bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang;
Engkau ‘kan menjadi jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan; maka perin
tah, ‘bunuhlah aku, wahai teman setia,’ adalah benar.
Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata-kata, ‘Lihatlah,
Karena dibunuh aku hidup,’ adalah benar.

Masnawi III, 4159

( catatan: kata-kata ‘bunuhlah aku, wahai teman setia’ serta ‘lihatlah, karena dibunuh aku hidup adalah ungkapan Al-Hallaj.)


Perkembangan Manusia

Mula-mula dia muncul dari alam benda-mati;
Kemudian masuk ke dunia tumbuh-tumbuhan dan hidup
Bertahun-tahun sebagai tetumbuhan, tak ingat lagi akan
Apa yang telah dia alami, lalu melangkah maju
Ke kehidupan hewan, dan sekali lagi
Tak ingat akan kehidupan tetumbuhan itu.
Kecuali dirinya bergerak senang,
Pada tetumbuhan di musim bunga-bunga berkembang indah.
Seperti bayi-bayi mencari puting susu dan tak tahu mengapa.
Sekali lagi Sang Pencipta Yang Maha ijaksana sebagaimana engkau
ketahui
Memindahkannya dari alam hewani
Ke tingkat manusia; demikianlah dari alam satu ke alam lainnya dia
Bergerak, ia menjadi pandai,
Cerdik dan bijak, sebagaimana dia kini.
Tak terkenang lagi akan keadaan sebelumnya,
Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan diubah pula.
Sekalipun dia tertidur, Tuhan tidak akan membiarkannya
Dalam kelalaian ini. Ketika terjaga, dia
Akan tertawa mengingat mimpi-mimpi yang menyusahkannya,
Serta terheran-heran betapa bahagianya kehidupannya.
Dia dapat melupakan dan tak merasakan bahwa seluruh
Kesusahan dan kesengsaraan itu akibat dari tidur
Dan tipu-muslihat serta ilusi yang sia-sia. Maka dunia ini
Akan tampak abadi, meskipun itu hanyalah mimpi orang yang tidur;
Yang, ketika Hari yang telah ditetapkan tiba, akan melarikan diri
Dari bayang-bayang gelap yang menghantuinya,
Dan berpaling sambil menertawakan momok kesedihannya
Ketika dia melihat tempat tinggalnya yang abadi-lestari.
Masnawi IV, 3637
Pendakian Jiwa
Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan muncul sebagai hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku menjadi Insan,
Mengapa aku mesti takut? Bilakah aku menjadi rendah karena
kematian?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Insan, untuk membumbung
Bersama para malaikat yang direstui; bahkan dari tingkat malaikat pun
Aku harus wafat: Segala akan binasa kecuali Tuhan.
Ketika jiwa malaikatku telah kukorbankan,
Aku akan menjadi sesuatu yang tak pernah terperikan oleh pikiran.
Oh, biarkanlah aku tiada! Karena Ketiadaan
Membisikkan nada dalam telinga. “Sesungguhnya kepada-Nya-lah
kita kembali.”

Masnawi III, 3901

(Catatan: tema puisi di ataslah yang dikutib Muhammad Iqbal dalam buku Rekonstruksi pemikiran agama dalam Islam, tetapi dengan penerjemahan yang berbeda.)


Sumber Kehidupan

Salinan-salinan yang buram keluar dari Surga,
Lukisan-lukisan duniawi yang pucat dicipta ‘tuk binasa,
Duka apa ini meski keindahanmu jadi hancur
Namun yang memberi tetap selamanya bertahan?
Oh, jangan sakiti hatimu dengan derita yang sia-sia:
Seluruh percakapan yang tinggi memikat telinga yang terpukau,
Segala pemandangan tersepuh emas, semua tindakan berani
cemerlang
Akan hilang - musnah, meski tak seperti yang kita takutkan.
Selama mata air kehidupan terus mencurah,
Tiap aliran yang kecil mengalir penuh ke induknya.
Karena baik aliran maupun sumber dapat selamanya mengalir,
Alangkah bodohnya ketakutanmu, betapa keluh kesahmu sia-sia!
Apakah sumber ini, inginkah engkau mengetahui benar-benar?
Jiwa yang menyebabkan segala sesuatu diciptakan.
Pasti sungai-sungai tak akan berhenti mengalir
Sampai terbungkam sumber-sumber keabadian
Selamat berpisah, dan dengan pikiran tenang
Minumlah lagi dan lagi: biarlah yang lainnya suka menganggap
Mungkin dapat menemukan saluran yang kering
Atau mengukur aliran yang tak dapat diukur.
Dunia yang hina ini diberikan kepadamu untuk sementara.
Tersedia sebuah tangga yang dengannya emngkau dapat bercita-cita;
Dan langkah pertamamu, berjuang untuk terus mendaki,
Dari mineral ke tumbuhan; lalu ke tingkat yang lebih tinggi.
Ke kehidupan hewan; lantas, Manusia
Berpengetahuan, berakal, beriman. O sungguh tujuan yang
sangat mengagumkan!
Tubuh ini, dari remah-remah debulah ia berasal
Betapa indahnya terbentuk segala kesempurnaan!
Namun perjalananmu belum berhenti sampai di sini: engkau akan menjadi
Malaikat yang bijak dan tempat tinggalmu di Surga.
Teruslah berusaha, akhirnya terjunlah ke dalam Samudera yang luas, sehingga
Tetesanmu yang sedikit membuat lautan-lautan meluap tujuh kali tujuh lipat.
“Putera tuhan!” Tidak, tinggalkanlah kata yang tak dapat disebutkan itu;
Katakanlah: “Tuhan adalah Yang Maha Esa, Yang Maha Suci, Kebenaran yang satu.”
Apakah mesti bingkai dirimu akan menjadi layu, tua, dan mati,
Jika jiwa tetap muda, segar, dan abadi?

Diwan, SP, XII.

Warna yang sama bukan? Bagaimana dengan aromanya….. hmm. Saya pikir, pembaca pasti telah mengetahui ada kesamaan pola di antara puisi-puisi tersebut. Dan saya pikir cukup jelas dan terang. Hmm.. begitulah…

Sumber puisi: Reynold A. Nicholson, ajaran dan pengalaman sufi Jalaluddin Rumi, penerbit Pustaka Firdaus, 1996. Kesamaan tema pada puisi-puisi di atas juga sudah disinggung dalam buku itu.