Puisi cinta paling indah? Tetep….
Buat bapak yang satu ini: Sapardi Djoko Damono atawa terkenal juga dengan SDD.
Pertama kali baca puisinya saya langsung jatuh hati!!
Puisi ini saat pertama kali baca sangat mengena di hati, subjektif banget sih, tapi menurut yang saya baca/ apresiasikan selama ini, inilah puisi cinta yang top banget.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang membuatanya terbakar
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang membuatnya tiada
Pembaca/ penyimak mungkin akan protes, mana bisa seperti itu, pengorbanan cinta yang membuat terbakar dan tiada itu, dapat dikatakan sederhana? Tapi begitulah, dengan puisi itu dia ingin menunjukkan cintanya yang terdalam, cinta yang ditunjukkan dengan pengorbanan yang demikian hebat. Tapi itulah yang dia namakan sebagai cinta yang sederhana.
Saya juga pingin bahas sedikit, Sapardi tidak menulis “Seperti kata yang tak sempat diucapkan” tapi dia memilih untuk mengatakan “Dengan kata yang tak sempat diucapkan” ini sangat menarik, sebab saya dulu selau mengingat syair ini menggunakan kata “seperti”, nyatanya Sapardi menggunakan kata “dengan” dalam puisi tersebut. Saya pikir penggunaan kata ini menunjukkan bahwa dia memaksudkan cinta yang sederhana itu adalah cinta yang benar-benar menggunakan kata-kata yang harusnya ‘diucapkan’ oleh kayu dan ‘diisyaratkan’ oleh hujan tersebut, mungkin kata-kata itu ialah,: “Biarlah aku menderita asal engkau bahagia….” Kalau bahasa zaman sekarang mungkin kata-katanya adalah, “Apa sih dek, yang nggak buat kamu?”
Ada juga kata yang hilang yaitu “oleh”, ini sangat mungkin hanya digunakan untuk mempercantik rangkaian kata-kata tersebut. Bisa juga hilangnya kata “oleh” tadi dimaksudkan untuk menyebabkan efek penegasan intonasi pada pengucapan kata “kayu “ dan “awan” .
Sebenarnya ada lagi penulis puisi cinta lain, tapi kaliber dunia. Namanya Kahlil Gibran, seorang yang hidup di dua keping dunia, barat dan timur. Sayangnya saya tak terlalu suka dengan puisi-puisinya, terutama puisi cintanya Gibran ini, agak sedikit suram menurut saya. Dan pada novel best seller “5 cm” terbitan Grasindo pun ada disebutkan salah satu tokoh ceritanya, yang dulunya begitu menggilai karya Kahlil Gibran ini, jadi luntur rasa cintanya karena karya-karya Kahlil Gibran menjadi karya populis di pasaran.
Karena itu dari seluruh “puisi cinta” yang pernah saya baca, puisi Sapardi Djoko Damono ini masih mendapat tempat paling tinggi di hati, bersama dengan tentu saja puisi-puisi karya saya sendiri. Tentu saja puisi saya mesti saya hargai (wa ka.. ka.. ka ka..). Sebaik dan sejelek apapun itu mesti dihargai, kalau tidak siapa lagi yang akan menghargainya, wrigh or wrong it’s your poems…
Nah, ada lagi satu puisinya di bawah ini, dari Sapardi Djoko Damono:
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon bunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Pemilihan kata juni itu saya kira benar-benar menggunakan perhitungan dan atau intuisi. Juni, dari sisi rima sangat dekat dengan kata seni dan semi, suatu cerminan atas keindahan. Dari segi waktu pun, imajinasi pembaca akan dibawa, bahwa, secara sadar atau tidak sadar, bahwa juni adalah bulan kemarau, bahkan mungkin klimaksnya bulan kemarau. Di saat begitulah hujan begitu dinantikan, dan turunnya hujan ini dapat merupakan suatu pengalaman orgasmik, pengalaman meletup-letup akibat terbayarnya sebuah kerinduan dan tentu berbeda dari “hujan-hujan” pada waktu yang lain.
Dan juga di sinilah sisi magis dari puisi ini, ternyata yang merindu itu bukanlah “pohon bunga itu” tetapi “hujan” itulah yang merindu, rindunya itu dirahasiakannya pada sang “pohon bunga itu”. Kalau kita bayangkan, pastilah “pohon bunga” akan selalu memaki-maki, mengapa “hujan” tak turun jua. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? ternyata sang “hujan”-lah yang begitu tabah memendam rindu untuk memberi kehidupan dan kesegaran bagi sang “pohon bunga” itu.
Pada bait kedua, sang “hujan” mengakui bahwa segala pengorbanan yang dilakukannya adalah belum sepenuhnya ikhlas, maka dihapusnyalah jejak kakinya di jalan itu, di hapusnya segala bekas kehadirannya. Tak usahlah kau tahu aku pernah memberi engkau cinta, karena aku sendiri masih meragu…
Dan di bait ketiga dia berkata, inilah kearifan “hujan bulan juni” itu, membiarkan yang tak terucapkan itu diserap oleh pohon bunga itu. Dan biarkanlah, dan biarkanlah ketidak-mengertian itu yang menghidupimu…
Baiklah, selanjutnya kita bandingkan dengan puisi Chairil Anwar dibawah ini:
Derai-derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Tampaknya, kata-kata “yang tak terucapkan” itu menjadi favorit di kalangan penyair. Lihatlah lagi pada puisi “aku ingin” di awal, ada juga kata-kata “tak sempat diucapkan”. Apakah itu, entahlah, mungkin sesuatu yang sangat besar hingga tak sanggup melewati rongga mulut atau justru pengetahuan atau perasaan sang penyair belum sampai ke sana walau sudah sangat terasa. Tapi sedikit untuk digali, puisi itu seolah hendak berkata semakin berumur maka kita akan semakin jauh dari cinta sekolah rendah, seolah dia hendak berkata, semakin jauh kita meninggalkan cinta yang masih sepenuhnya tulus…
Untuk derai-derai cemara, SDD pernah membahas puisi ini adalah menunjukkan “keinsyafan Chairil” karena puisi ini dapat dikatakan lebih teratur dan menggunakan pola berima, juga puisi ini adalah puisi yang dekat dengan waktu kematiannya.
Ada lagi satu puisi oleh Sapardi yang berkenaan dengan hujan:
Gadis Kecil
Ada gadis kecil disebrangkan gerimis
Di tangan kanan bergoyang payung
Tangan kirinya mengibas tangis
Di pinggir padang ada pohon dan seekor burung
Bayangkanlah, jika tangis anak kecil itu untuk seekor burung yang terluka di atas pokok pohon. Dengan sebuah ketulusan sang gadis kecil, dikarenakan gerimis yang menghujani tubuh burung yang terluka itu, menyebrang padang ingin menolongnya. Tapi apa daya, itu tangan tak kuasa untuk meolongnya, sehingga tangislah yang menetes, disela gerimis…
Sehingga kedua tangan itu hanya digunakan untuk memegang payung dan mengibas tangis, tanpa daya…
Anda tahu puisi-puisi yang lebih indah? Mungkin puisi itu dari kekasih anda sendiri… (subjektif sih, kan katanya apa aja ditambah cinta jadinya indah, kwa.. kha.. kha..kha.. kha..)
Tapi kalau berkenan, silahkan anda tuliskan puisi yang paling indah menurut anda, terserah, mau dari penulis terkenal kek, karangan anda sendiri atau dari kekasih anda, dan apapun jua jenisnya, mau puisi cinta kek, persahabatan kek, benci kek, satir kek, kalau anda rasa itu paling indah tulis aja. Jangan lupa sertakan pula siapa pengarangnya.