04/05/2008

Perbandingan Prosa Suhrawardi dan Syair Ibnu sina

Dalam buku Fairuddin Al-Attar (juga penulis musyawarah burung) berjudul "Warisan Para Awliya" terjemahan A.J. Arberry, pada bagian pendahuluan, terdapat pernyataan bahwa doktrin neo-platonisme mengenai menitisnya sukma ke dalam raga, doktrin yang diterima oleh para sufi untuk menerangkan konsep Al-Quran mengenai "perjanjian" antara manusia dengan Allah pada awal kejadian; yang dengan sangat elok diekspresikan di dalam Syair Mengenai Sukma, karya terkenal Ibnu Sina; oleh Suhrawardi diolah menjadi mitos yang mengasyikan dan mengesankan. (hal. 11)
Prosa itu berjudul merak sang raja, seperti diceritakan di bawah ini.

Merak sang raja.
Seorang raja memiliki sebuah taman yang sepanjang tahun senantiasa berlimpah dengan rempah-rempah harum, rumput-rumput hijau dan keteduhan-keteduhan yang nyaman. Sungai-sungai mengalir di dalamnya dan segala jenis burung bertengger di dahan pepohonan menyenandungkan segala macam nyanyian. Setiap nyanyian menyentuh kalbu dan setiap keindahan yang tercipta di dalam khayal, semuanya kita jumpai di dalam taman itu, sekawanan merak yang sangat gagah, tampan dan elok rupanya telah bersarang pula di dalamnya.

Pada suatu hari sang raja menangkap seekor burung merak. Raja memerintahkan agar tubuh burung itu diselubungi dengan mantel kulit sehingga seluruh warna-warni bulunya tertutup rapat, dan betapa pun usaha si burung, niscaya ia tidak dapat melihat keindahan dirinya sendiri. Kemudian sang raja memerintahkan burung itu dikurung di dalam sebuah celah untuk memberikan sedikit gandum, sekedar penyambung hidupnya.

Waktu berlalu. Si merak lupa akan keadaan dirinya yang sebenarnya, taman kerajaan itu dan teman-temannya sesama merak. Apabila ia melihat kepada dirinya sendiri maka yang terlihat olehnya hanyalah sebuah mantel kulit yang kotor serta buruk dan tempat kediaman yang sangat gelap serta membosankan. Akhirnya dengan keadaan yang seperti ini ia dapat menyesuaikan diri. Dan ia berpendapat bahwa tiada tempat yang lebih luas daripada sangkar yang dihuninya itu. Si burung benar-benar yakin bahwa jika ada yang mengatakan adanya kehidupan dan tempat kediaman yang lebih sempurna daripada yang dimilikinya itu, tentulah pernyataan tersebut bid’ah, omong kosong dan bodoh belaka.

Apabila agin semilir berhembus membawakan semerbak bunga, pepohonan, mawar, violet, melur dan rempah-rempah wangi melalui celah sangkar itu, maka dirasakannya suatu kenikmatan aneh yang demikian menggugah hati seperti kenikmatan seekor burung yang sedang terbang melayang-layang di angkasa bebas. Ia merasakan suatu kerinduan tanpa menyadari sumber kerinduan itu. Yang diketahuinya hanyalah tubuhnya yang terbalut kulit, sedang segala sesuatu selain daripada sangkar dan jatah gandumnya telah hilang dari dalam ingatannya. Apabila ia mendengar alunan suara merak dan nyanyian burung-burung lain, hatinya diliputi oleh kerinduan dan kedambaan, namun kicauan burung dan hembusan angin semilir itu tidak dapat menjagkannya dari keadaan terlena.

Adapun syair mengenai sukma kutipannya saya temukan dikutip ulang oleh M. Quraish Shihab pada buku Dia Dimana-mana, tangan Tuhan Dibalik Setiap Fenomena. Dan akan saya ketik ulang seperti dapat dibaca pada bagian di bawah ini:

Ia turun kepadamu (hai tubuh manusia) dari tempat yang tinggi,
(Bagaikan) merpati (jinak, tetapi) enggan dan menghindar.
Terselubung terhadap setiap pelupuk setiap pemandang,
Padahal ia yang membuka wajah dan tanpa cadar.
Ia tiba kepadamu dengan terpaksa, dan boleh jadi,
Enggan berpisah kendati ia penuh keluhan
Enggan dan tidak senang (menyatu denganmu), tetapi begitu menyatu
Akhirnya terbiasa, bersanding dengan kebobrokan yang kumuh..
Kuduga ia lupa janji-janjinya ketika berada di alam yang tinggi.


Ia menangis ketika mengingat janji-janji di alamnya yang luhur,
Mencucurkan air mata, deras, tiada henti.
Ia pun terus berkicau menangisi puing-puing,
Yang telah runtuh oleh kisaran angin dari empat penjuru.
Itu karena ia terhalangi oleh jeratan yang kuat dan dibendung,
Oleh sangkar, sehingga tak lepas ke angkasa luas.


Hingga jika telah melekat jalan menuju asalnya…
Mendekat pula saat berpisah ke angkasa yang luas
Lalu berangkat berpisah dengan semua yang ditinggal…
Ditinggal remeh bersama tanah…. Dan tanpa berpamit…
Ketika itu… mendadak dibuka tabir, dan terlihatlah…
Apa yang tak terjangkau mata yang disentuh kantuk.
Ia pun berkicau di atas puncak yang amat tinggi…
Begitulah ilmu, meninggikan semua yang belum tinggi
(Boleh jadi ada yang bertanya – jika memang ruh gembira dengan
kepulangannya)


Nah, mengapa ia diturunkan dari tempat yang tinggi,
Menuju ke dalaman yang sangat rendah dan hina?
Ia diturunkan Tuhan, untuk suatu hikmah,
Yang tidak terjangkau oleh cendikia yang sangat bijak!
Tak pelak lagi, turunnya adalah keniscayaan,
Agar menjangkau apa yang belum dijangkaunya.
Guna meraih semua rahasia, rahasia kedua alam,
Sobekan bajunya tak perlu dijahit.
Masa menghadang perjalanannya, kendati demikian,
Ia terbenam, tidak serupa ketika terbitnya.
Ia seakan kilat, cemerlang di bentengnya yang tinggi,
Lalu redup, menghilang bagai tak pernah berkilau.


Bergembiralah dengan jawaban yang kuungkap,
Karena api ilmu memiliki kilauan..


Sebenarnya secara gamblang pun dapat dilihat bila ada kesamaan makna dari kedua bentuk sastra tersebut, baik syair maupun prosa di atas. Kepercayaan Metafisika terlihat dengan jelas.
Pada bait rubaiyat umar khayam karya omar khayyam pun ajaran ini akan terlihat lebih gamblang:

Insyaflah, persinggahan kafilah yang lapuk ini
Pintu gerbangnya siang dan malam berganti
Bagaimana Sultan diganti Sultan dalam kebesarannya
Ia tunduk pada saat takdir, menempuh jalannya


Hampir secara pasti dapat dikatakan bahwa para tokoh di atas mengajarkan untuk menginsyafi bahwa hidup itu adalah persinggahan yang lapuk. Dan ada satu kehidupan yang lebih tinggi di luar sana…