Mulutmu mencubit di mulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-perih kau meluka??
12 juli 1943
“Mulutmu mencubit di mulutku”, elok sekali bukan. Dalam cinta ada beberapa jenis interaksi yang membawa jiwa ini melayang, “cubit-cubitan”, “peluk-pelukan”, “pandang-pandangan”, “lirik-lirikan”, “belai-belaian”, dst. Puisi ini sendiri adalah salah satu bentuk interasksi dalam cinta, silahkan anda bayangkan seperti apa ciuman yang serupa cubitan itu…. Atau anda malah pernah merasakannya sendiri?
Chairil adalah gelora. Tapi Chairil adalah manusia, hidup juga dalam perasaan cinta. Sajak di atas itu adalah sebentuk cinta yang terasa benar berlatar peristiwa yang dipenuhi gelora. Perasaan menggelora memang hampir mewarnai seluruh sajak Chairil. Menyimak sajak-sajak Chairil, kita akan menemukan warna-warna lain dari cinta, meskipun hampir di seluruhnya tetap dibungkus perasaan yang meluap-luap.
Puisi Cinta Chairil Anwar Yang Menggebu-Gebu
Jelas, sebagai penyair, yang berusaha menjiwai setiap peristiwa, seksualitas tentu merupakan suatu bagian dari kehidupan. Untuk puisi cinta tipe ini, Chairil tidak terlalu vulgar, tapi usil, liar dan tetap saja panas. Dan tetap saja, gaduh, heroik, serta penuh dengan kegelisahan.
TUTI ARTIC
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhias dengan susu + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
- ketika kita bersepeda kuantar kau pulang –
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947
Wah… benar-benar ajaib puisi ini. Ada satu penggal bait, “adikku yang lagi keenakan menjilati es artic” bait ini begitu terasa iseng. Karena selanjutnya malah si penyair bercerita tentang ciuman, ciuman yang menggores…
Masih belum puas? Baca lagi lebih teliti, sebelumnya juga Chairil menulis, “Sore ini kau cintaku, kuhias dengan susu + coca cola”. Jahil…
MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA
di pegunungan, 1943
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada
mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati.
1949
Keusilan dan liarnya Chairil dalam perpuisi terlihat kembali di sini. Saat sedang memadu cinta, ada peristiwa yang diekspresikan dengan jelas dan menggemaskan; Ketawa diadukan giginya pada mulut Chairil; Tetapi, sambil memadu kasih ada satu kegelisahan yang belum terjawab di sana: dan bertanya: Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah? Mereka memadu asmara dalam kegelisahan.
Selanjutnya perlakuaan fisik, Mirat raba urut Chairil, raba dada di sini bukanlah bentuk dari sensualitas semata, tetapi lebih pada laku tuk mencari sesuatu yang substil, yang kemudian didapatkan Dan tahulah dia kini, bisa katakan // dan tunjukkan dengan pasti di mana // menghidup jiwa, menghembus nyawa.
Pada bait-bait selanjutnya, naluri hidup yang lepas sumbat, menggebu, liar khas Chairil segera terjadi: hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas // Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras.
PUNCAK
Pondering, pondering on you, dear…
Minggu pagi di sini. Kederasan ramai kota yang terbawa
tambah penjoal dalam diri – diputar atau memutar –
terasa tertakan; kita berbaring bulat telanjang
Sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang.
Berada 2000 m. jauh dari muka laut, silang siur pelabuhan,
jadi terserah pada perbandingan dengan
cemara bersih hijau, kali yang bersih hijau
Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di balik rupa.
Kau terlompat dari ranjang, lari ketingkap yang
masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana,
bahwa antara
cemara bersih hijau dan kali gunung bersih hijau
mengembang juga tanya dulu, tanya lama, tanya.
1948
Puisi ini ditutup dengan kata “tanya” oleh Chairil, saya pun demikian. Ada pertanyaan pada puisi ini, apa yang dimaksud dengan cemara yang bersih hijau dan kali gunung yang bersih hijau. Metaforakah? Atau adalah memang untuk arti yang sebenarnya?
Puisi Cinta Chairil Anwar Yang Kecewa
Anehlah cinta yang tidak membawa manusia pada kekecewaan. Bahkan Gibran juga sudah mewanti-wanti “Dan apabila sayapnya merangkulmu, pasrah dan menyerahlah kepadanya, walau pedang yang tersembunyi di sayap itu melukaimu”. Memang sisi lain dari cinta adalah kekecewaan dan rasa sakit. Pada puisi-puisi cinta Chairil ini pun ada terdapat perasaan sakit dan kecewa itu.
DENGAN MIRAT
Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam.
‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
Mengikut juga bayangan itu?
8 Januari 1946
Nada kecewa akan terlihat di sini: ‘kan terdamparkah // atau terserah pada putaran pitam. Ada dua pilihan di sini. Buah simalakama. Terdampar atau semakin masuk ke dalam pusaran amarah, hingga mata pun sangking merahnya bisa menjadi “ungu membatu”. Dua-duanya tidak mengenakkan. Dua pilihan sulit yang harus diterima…
Dan yang paling keras kepala dalam memandang cinta itu adalah puisi ini:
TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahaveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Februari 1943
Bagi saya syair ini melambangkan bahwa dia bukanlah seorang pemuja cinta yang “rela berbuat apa pun demi cinta” atau pengorbanan asketis atas nama cinta. Dia adalah seorang yang menuntut haknya bahkan dari cinta itu sendiri: Jadi baik kita padami // unggunan api ini // karena kau tidak ‘kan apa-apa // aku terpanggang tinggal rangka.
Pada sajak lain yang berjudul Merdeka, Juli 1943, ada juga bait-bait yang benar-benar menunjukkan keinginannya untuk merdeka, lepas dari segala, bahkan dari cinta: watak heroismenya. Aku mau bebas dari segala // merdeka // bahkan dari Ida. Pada bagian selanjutnya ia menerangkan lagi: Pernah // aku percaya pada sumpah dan cinta // menjadi sumsum dan darah // seharian kukunyah-kunyah.
Dari bait-bait di atas, diketahui bahwa Chairil memang benar-benar individualis sejati, ingin merdeka dari segala. Bahkan cinta dan sumpah pun pada suatu saat demi mendapat “rasa merdeka” ingin dibebaskannya pula, padahal dulunya tidak hanya mengalir dalam darah, bahkan sumpah dan cinta itu telah menjadi sumsum dan darah. Di sinilah letak istimewa sajak-sajak Chairil, dia terus mengembara mencari “rasa merdeka” itu. Dan kita sering terhipnotis membaca jejak-jejak pencariannya atas kehidupan melalui syair-syairnya itu.
Cut. Saya potong di sini, masih ada dua tipe dari puisi cinta Chairil Anwar yaitu dalam “romantisme” dan “kesedihan” pada episode posting selanjutnya.