27/09/2010

PERCAKAPAN BAYANG-BAYANG ~ Adri Sandra

Tahun ini kemarau bertiup dan kabut tebal berdiri menyangga udara
musim bercadar, bayang-bayang berjalan dengan lubang-lubang luka di tubuhnya
di bawah pohon-pohon besar yang dingin, darahnya tetes mengandung kata dan rahasia
seorang bayang-bayang, kakinya lemas, matanya pudar, mulutnya bergerak lamban tersimpul dalam patahan kata-kata
"Kita telah jauh dari rumah Tuhan, seorang lelaki tua bersimpuh dekat mihrab
dalam masjid yang lengang, ia mencari-cari malaikat buat bertanya
ke manakah jemaah pergi? ke mana gemuruh amin yang syahdu
ketika orang-orang ramai berhadapan dengan Tuhan?
dari setiap sisi, gerombolan demi gerombolan berjalan dalam kabut
Melintsi daerah demi daerah, kuburan demi kuburan, sungai demi sungai yang dangkal
dan kita jadi bayang-bayang luka!
di mana tempat hati kita biasanya berteduh?"
darah yang tetes di tanah
menggulung kata-kata rahasia
kandungan badai dalam angin
diwariskan pada gunung dan lembah-lembah
Malam pun datang berselimut satu warna antara bumi dan udara
bayang-bayang itu duduk dalam keperihan meraba-raba lubang-lubang luka yang kian menganga
dalam kurungan napas yang tinggal tidak lagi seberapa
seorang bayang-bayang melanjutkan sisa kata-katanya
"Dalam gelap ini kita tidak melihat apa-apa
desir angin dari berbagai arah, kita mendengar bukan desir angin dari bumi
barangkali kita berada di langit di mana malaikat-malaikat kekal dengan hidupnya
Di mana Tuhan bersimpuh melihat peredaran alam yang sering berubah
Seorang lelaki tua yang bersimpuh dekat mihrob, kini sedang apa?
mungkin ia mulai berdoa atas kekembalian kita ke tubuh-tubuh yang sejati
atau meminta pada Tuhan, perubahan-perubahan kembali pada keabadian
meminta kabut menyingkir dari punggung bumi dan hujan datang menunda kemarau
meminta revolusi di jiwa-jiwa manusia yang mendiami pulau-pulau ini esok atau lusa akan memproklamasikan kemerdekaannya
dari segala jajahan yang tidak pada sistem semestinya, ataukah teriakan para demonstran terlingkar dinding kekuasaan?
dan kita bayang-bayang tengah menonton sandiwara mengerikan
sedang darah dan kata tinggal lagi tidak seberapa, dan kita semakin jauh dari rumah suci
di mana Tuhan paling banyak dikumandangkan!"
darah yang tetes di tanah
menguncup di warna malam
kabut pasi dalam waktu
bagai bocah kehilangan mainan
segerombolan bayang-bayang, napasnya di ujung daun-daun
lubang-lubang luka di tubuhnya kian menganga
seorang bayang-bayang lain berkata sepelan desir angin di cuaca
"Malam ini telah turun berpuluh-puluh malaikat maut dari langit
kita berada di sebuah negeri yang sunyi menunggu kematian sebenarnya
tubuh-tubuh kita yang sejati bertebar di atas pulau-pulau
mencari-cari di mana kita berteduh
seorang lelaki tua dalam mesjid akan sendiri bersama Tuhan
sebelum matahari pagi datang marilah kita berbaring dengan luka dan perih
sisa-sisa darah dan kata biar mengalir dalam mimpi ke tangan-tangan malaikat yang turun!"
tahun ini kemarau dan kabut tebal berdiri menyangga udara
rahasia bercadar, musim lepas di pulau-pulau yang pucat
gema suara semakin lama semakin halus
pada akhirnya bumi ini telah menjadi dataran paling tandus

Padang, 97-98


Puisi Oleh: Adri Sandra