: Ilya Deharina
Tak pernah kautahu, di balik rimba kabut, aku memanggil namamu Sudah sejak dulu. Ketika mata-air disiapkan dari celah bukit, dan diperintahkan menggambar peta, membelah bumi menuju lautan Berulangkali kupanggil namamu: Ilya! Ilya! Dan angin meniup berjuta butiran pasir, mengaburkan mata, memperpanjang langkah pengembara Sampai kutemukan masyarakat Ibrahim, sampai kutemukan wangi keringatmu Sebagaimana kuhirup getah kaktus, setelah bertahun-tahun melintasi gurun Akankah terjadi malam ini, setelah lelah mendaki gunung di atas gemerlap lampu kota? Menyongsong udara yang susut menuju kerendahan suhu Dan senantiasa hatiku menyerukan namamu: Ilya! Ilya!
Akankah kulepaskan tanganmu, sehabis kubuktikan setiap darah cintaku di mata Nadhira? Sementara keresahan terus menciptakan mimpi-mimpi panas Seolah kita berada di balkon sebuah rumah mediterania Tak pernah kautahu: sesudah kikis seluruh api romantisme, segalanya telah menyatu menjadi sukma yang menjerit. Memanggilmu. Memanggilmu, Ilya Hingga runtuh seluruh tulang yang menyekap jiwaku. Dan kuserahkan sebagai Nadhira, buah hati yang kita cintai Akankah terjadi malam ini? Segala yang kupikirkan. Segala yang kaubayangkan Segala yang kita rencanakan sejak dulu. Sejah dulu
Jakarta, 10 November 1997
Puisi Oleh: Kurnia Effendi