Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat elama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan, merintih terus-menerus tiada henti,
”Mengapa engkau letakkan api di bawahku? Engkau membeliku: Mengapa kini kau siksa aku seperti ini?
Sang isteri memukulnya dnegan penyedok. ”Sekarang,” katanya, ”Jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencian-ku; sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lebih lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup: kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air minum itu demi api ini.
Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada permukaan-Nya, tujuannya bahwa dengan kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.
Kasih-Nya yang mendahului permukaan-Nya itu supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, ’Sekarang engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai.’
Teruslah, wahai buncis, teruslah dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri tak tersisa padamu lagi.
Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan dalam mulut dan masuklah ke kehidupan.
Jadilah gizi, energi, dan pikiran! Engkau menjadi air bersusu: Kini jadilah singa hutan!
Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-sifat Tuhan: kembalilah kepada Sifat-Sifat-Nya!
Engkau menjadi bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang: Engkau ’kan menjadi jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan: maka perintah, ’bunuhlah aku, wahai teman setia,’ adalah benar.
Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata-kata, ’Lihatlah, karena dibunuh aku hidup,’ adalah benar.”
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 4159