Pada setiap zaman setelah Nabi Muhammad muncullah seorang Wali sebagai wakilnya: umat manusia diuji sampai Hari Kebangkitan.
Siapa yang berbudi baik akan selamat, siapa yang berhati lemah akan patah.
Wali itu, jadi imam yang hidup, muncul di setiap masa, apakah dia keturunan ’Umar atau ’Ali.
Dia adalah orang yang diberikan petunjuk Tuhan (Mahdi) dan Petunjuk (Hadi): dia tersembunyi maupun duduk di depanmu.
Dia laksana Cahaya Nabi, dan Akal Universal adalah Jibrilnya: wali yang lebih rendah menerima cahaya darinya, seperti sebuah pelita.
Tingkat wali yang berada di bawah ”pelita” ini laksana ceruk-pelita: Cahaya bertingkat-tingakat.
Karena Cahaya Tuhan Memiliki tujuh ratus tabir: anggaplah tabir-tabir Cahaya itu sebagai tingkat yang banyak.
Di belakang setiap tabir tinggallah segolongan wali tertentu: Tabir-tabir ini mendaki tingkat demi tingkat sampai ke Imam.
Cahaya bagi kehidupan paling atas adalah menyakitkan dan tak tertahankan bagi yang di bawah;
Namun tingkat demi tingkat kesilauannya berkurang; dan setelah melintasi tujuh ratus tabir dia menjadi Lautan.
Api adalah baik bagi besi dan emas – bagaimana ia akan baik bagi kuinci dan apel?
Apel dan kuinci hanya sedikit keras: tidak seperti besi, mereka hanya membutuhkan panas suam;
Tapi bagi api yang mudah menyerap kobaran api dari lidah naga, panas suam itu terlalu lunak
Apakah besi? Rasa malu-diri Darwis: di bawah martil dan api dia merekah dan bahagia.
Dia adalah bendaharawan api, yang selalu berhubungan langsung dengannya: dia berjalan lurus menuju hati api.
Oleh karena itu dialah Hati dunia, karena hatilah tubuh melakukan fungsinya yang sebenarnya.
Hati setiap orang laksana tubuh dalam hubungannya dengan Hati semesta Wali.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 815