Seseorang mengetuk pintu kekasihnya: ”Siapa di situ?” tanya sang kekasih.
Dia menjawab, ”Aku.” ”Pergilah seru kekasihnya, ”ini terlalu cepat: di atas mejaku tiada tempat yang masih mentah.”
Bagaimana yang mentah dapat dimasak kalau bukan dalam api ketiadaan? Apa lagi yang dapat melepaskannya dari kemunafikan?
Dengan sedih dia pun pergi, dan sepanjang tahun hatinya terbakar oleh api perpisahan;
Maka datanglah ia kembali mondar-mandir di samping rumah kekasihnya.
Dia mengetuk pintu dengan ratusan kecemasan dan harapan, kuatir kalau kata-kata tak pantas bakal terucap dari bibirnya.
”Siapa di situ?” seru sang Kekasih. Dia menjawab, ”Engkau, wahai pesona seluruh hati!”
”Kini,” sapa sang kekasih, ”karena engkau adalah aku, masuklah; tiada ruang untuk dua aku dalam ruangan ini.
Dua ujung benang bukanlah untuk selubang jarum: karena engkau adalah satu, masuklah ke lubang itu.”
Inilah benang yang memasuki lubang itu: unta takkan diterima masuk lubang jarum itu.
Bagaimana unta dapat diperkecil kecuali dengan gunting zuhud?
Tapi itu, wahai pembaca, memerlukan Tangan Tuhan, yang merupakan Pembuat dan Pencipta setiap kemustahilan.
Yang bukan-wujud pun, meski lebih mati dibandingkan yang mati harus mendengarkan ketika Dia menitahkannya mewujud.
Bacalah ayat, ”Setiap waktu Dia dalam kesibukan”: janganlah menganggap-Nya menganggur dan lamban.
Setidak-tidaknya, kegiatan-Nya tiap hari, mengirimkan tiga pasukan:
Sepasukan sulbi para ayah menuju para ibu, supaya benih dapat berkembang di dalam kandungan;
Sepasukan dari kandungan menuju Bumi, agaar dunia terisi dengan lelaki dan perempuan;
Sepasukan dari Bumi menuju kawasan di balik kematian, sehingga setiap orang dapat melihat indahnya segala amal baiknya.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 3056