Tiada darwis di dunia; dan seandainya ada, darwis itu sesungguhnya tidak-ada.
Dia ada menurut kelangsungan esensinya, namun sifat-sifatnya padam karena Sifat-sifat Ilahi.
Seperti cahaya lilin di hadapan matahari, nyatanya ia tidak-ada, meskipun ia ada menurut hitungan resmi.
Esensi api itu tetap ada sejauh bila engkau menaruh kapas di atasnya, kapas itu akan dilahapnya.
Namun pada kenyataannya ia tidak-ada: ia tidak memberimu cahaya, karena mentari telah memudarkannya.
Apabila satu ons cuka dilarutkan ke dalam seratus muk gula, Rasa asam itu tiada ketika engkau mencicipi gula, meskipun ia ada sebagai kelebihan ketika engkau menimbangnya.
Di hadapan seekor singa, kijang menjadi tak sadarkan diri: kehadirannya hanyalah sebuah tabir bagi singa itu.
Analogi-analogi yang dilukiskan manusia tidak ada sempurna mengenai perbuatan Tuhan adalah laksana emosi cinta, mereka bukannya tidak sopan.
Perasaan pencinta terlontar tanpa rasa malu, dia berterus terang kepada Sang Raja.
Dia tampak kurang sopan, karena tuntutan cintanya melibatkan persamaan hak dengan Sang Kekasih;
Tapi lihatlah lebih dalam: apa yang dia tuntut? Baik dia maupun tuntutannya tidak berarti apa-apa di hadapan Sultan itu.
Mata Zaydun (Zayd mati): kalau Zayd adalah pelaku (subyek, menurut tata bahasa), sesungguhnya dia bukanlah pelaku, karena dia mati.
Dia adalah pelaku hanya menurut ungkapan tata bahasa; sebaliknya dialah orang yang dikenai pekerjaan, dan maut adalah pembunuhnya.
Kemampuan apakah yang masih tersisa pada orang yang telah ditaklukkan sampai segala sifat seorang pelaku hilang dari dirinya?
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 3669