07/10/2010

JENDERAL BELEDEK

Waktu: 1957 atau 1958
Tempat: istana Merdeka dan Istana Negara
Yang hadir: Bung Karno; kakak-kakak pengawal dari Detasemen Kawal Pribadi antara lain: Kak Ida Bagus Putu Ngurah Djoni, Kak Sutimin; aku (Guntur Soekarno).
_____________________________________________

Karena sudah menjadi salah satu prinsip hidupnya yaitu mengabdi pada kaum kecil; rakyat kebanyakan; dan mungkin juga karena dilahirkan dari lingkungan tadi maka baik Bapak ataupun Ibuku selalu mendidik putera-puteranya agar selalu mencintai orang-orang kecil; kaum kecil; menghormati mereka dan bergaul rapat dengan mereka. Oleh sebab itu teman-teman sepermainan aku dan adik-adikku kebanyakan adalah dari lingkungan kecil tadi, yaitu anak-anak para pelayan; anak-anak pak kebon; anak-anak pak Opas kantor Sekneg; anak-anak pak koki dan lain sebagainya. Di samping itu Bapak selalu menasehati aku dan adik-adik agar selalu berlaku sopan serta hormat terhadap para prajurit pengawal-pengawal istana baik yang dari Corps Brigade Mobil Kepolisian RI yang tergabung dalam Detasemen Kawal Pribadi atau yang dari Corps Polisi Militer Angkatan Darat (CPM).
Setelah Resimen Tjakra Birawa dibentuk nasehat tadi oleh Bapak lebih-lebih lagi ditanamkan pada aku dan adik-adikku. Sebagai contoh misalnya walaupun aku dan adik-adik adalah putra Presiden Ri dilarangnya memanggil atau menyapa salah seorang dari pengawal walaupun pangkatnya hanya prajurit kelas II sekalipun dengan hanya menyebut namanya saja. Kita harus memanggilnya dengan sebutan Kakak. Jadi misalnya sang prajurit tadi bernama Paimin, maka bila kita hendak menyapanya, misalnya menanyakan jam berapa kita tidak boleh berkata: “Paimin, sekarang jam berapa?” tetapi harus “Kak Paimin, sekarang jam berapa?” demikian pula dengan petugas-petugas yang lainnya, misalnya kepada para pelayan kita harus menyapanya dengan sebutan pak; pak Tamin; pak Opi dan lain sebagainya. Istilah-istilah jongos; babu; benar-benar tabu di kamusnya Bapak. Terhadap pembantu-pembantu wanita pun kita harus menyapanya dengan istilah “bu”, misalnya: bu Atmo; bu Otih dan lain sebagainya.
Oleh karena dididik secara demikian maka bagiku bergaul dengan orang-orang “rendahan” di istana adalah pekerjaan rutin sehari-harinya sehingga aku tidak merasa canggung berada di lingkungan mereka. Bila tidak ada acara sepulang sekolah biasanya aku selalu kongkow dengan kakak-kakak CPM di barak sebelah ujung kanan Istana Merdeka atau main catur dengan kakak-kakak Brimob dari DKP di pos penjagaan sebelah atas kanan Istana Merdeka.
Di situ aku bisa banyak mendengarkan cerita berbagai pengalaman-pengalaman mereka dalam pertempuran-pertempuran baik semasa Revolusi Phisik ataupun dalam rangka penumpasan peristiwa Madiun; PRRI dan PERMESTA atau pengalaman mereka dalam menghadapi macam-macam perlawanan bersenjata seperti DI/TII, RMS dan lain sebagainya.
Mereka-mereka inilah yang menuturkan dengan bersemangat kepadaku tentang kehebatan Komandan-komandan mereka; keperwiraan pimpinan-pimpinan mereka akan tetapi juga yang menyingkapkan secara blak-blakan kepadaku siapa-siapa Komandan-komandan dan pimpinan-pimpinan yang mereka tak senangi. Dari mulut-mulut merekalah secara blak-blakan aku mendengar senandung merdu dari keperwiraan Sudirman yang besar; Slamet Riyadi yang brilyan; Ngurah Rai yang pemberani... Mendengar cerita mereka rasanya benar-benar aku berada di front Ambarawa, front Ambon ataupun puputan di Margarana. Lebih-lebih setelah resimen Tjakra Birawa yang terdiri dari unsur-unsur 4 angkatan yaitu: AD, AL, AU, Kepolisian dibentuk, ceritera yang bisa kudengar bertambah-tambah lagi banyaknya. Dari ceritera kakak-kakak pengawal tadi aku terbuai dalam riwayat kekesatriaan dan keperwiraan tokoh-tokoh legendaris mereka seperti Ahmad Yani; Djatikusumo, dengan operasi-operasinya di Sumatra, Wiriadinata dengan pasukan Paranya; Ali Sadikin dengan operasi Korps Komandonya di Sulawesi Utara, Josaphat Sudarso dengan MTB Matjan Tutulnya; Ignatius Dewanto; Rusmin Nurjadin; Sri Muljono Herlambang; Leo Watimena dengan gemuruh sayap-sayap garudanya; juga tentang Anton Sudjarwo dengan team Rangers-nya yang licin laksana belut ataupun May. Benny Murdhani dengan Para Komandonya yang tangguh.
Tak ketinggalan tentunya tentang Suharto dengan operasi Jaya Wijayanya untuk merebut Irian Barat yang konon jauh lebih spektakuler dari Invasi Normandianya Eisenhower di Perang Dunia Ke-II!!!

Pada suatu hari di tahun 1957 atau tahun 1958....
+ kak... Kakak-kakak lagi pada konsinyir ya??!??
- Iya Mas, maklum keadaan belum aman... Politik masih panas...
+ Berapa lama kak konsinyirnya?
- Wah... saya ndak tahu ya Mas... Kita-kita ini kan bawahan, turut perintah saja... jadi ya terserah bapak-bapak saja!
+Dari DKP yang konsinyir berapa orang kak?
- Kurang lebih satu peleton, termasuk tambahan penembak bren dan penembak launcer.
+ Kalau yang dari kakak-kakak CPM berapa yang konsinyir?
- Kakak kurang tahu Mas, barangkali 2 atau 3 peleton.
+ Tapi kak, ini konsinyir-konsinyir emangnya yang mau dijaga siapa sih? Kan Bapak ke Bogor...
- Lho... keluarga Bapak kan juga mesti dijaga... lebih-lebih istana ini kan juga mesti dijaga jangan sampe kurang suatu apa...
+ kalau yang dinas sekarang berapa orang kak?
- Satu regu.
+ Kakak-kakak yang di sini semuanya giliran istirahat?
- Iya Mas...
+ Eh... kak, gimana kalau kita main perang-perangan yuk?!?!?!
Dari pada kakak-kakak pada nganggur!!
- ..... hayo!!!
..... hayo wis
.....ayo... ayo!! (mereka spontan menyatakan akur).

Cepat-cepat aku ngibrit ke kamar untuk mengambil peralatan perang yaitu senjata-senjataan; pistol-pistolan dan tidak ketinggalan logistik yang terdiri dari buah-buahan.
Setelah semua senjata dibagikan, plus logistiknya maka perang-perangan dimulai... Yang ikut waktu itu kurang lebih 10 orang kakak-kakak dari Brimob DKP; dari yang 10 ini dipecah jadi 2 kelompok pasukan terdiri dari masing-masing 5 orang. Kelompok pasukan I dipimpin oleh Kak Ida bagus Putu Ngurah Djoni seorang anggota Brimob asal dari Bali dan pasukan II aku pimpin sendiri. Cara perang begini; Mula-mula seluruh pasukan mengambil posisi ngumpet di mana saja pokoknya masih dalam komplex istana. Waktu yang diberikan untuk ngumpet adalah 15 menit. Setelah itu serang menyerang boleh dimulai. Barangsiapa yang ketahuan atau kelihatan oleh musuhnya dan didor lebih duluan berarti ia mati dan keluar gelanggang. Tapi kita baru boleh ngedor kalau jarak dengan musuh tidak lebih dari 20m; lebih dari 20m biar kelihatan tidak boleh di-dor. Demikian selanjutnya sampai salah satu kelompok pasukan kehabisan orang. Sebelum penyerangan aku mulai, aku bawa dahulu pasukanku “long march” dari Istana Merdeka ke Istana Negara. Di situ, di beranda depan Istana Negara aku mengadakan briefing dengan anggauta pasukanku untuk mengatur strategi penyerangan...
+ Kakak-kakak mulai sekarang semuanya kalau panggil saya musti pake istilah jendral! Sekarang nama saya bukannya Mas Tok tapi... jendral Beledek! (beledek = halilintar bahasa Jawa).
- Siaaaap... jenderal!!! (serempak mereka menjawab).
+ Nah, sebelum kita mulai atur strategi penyerangan yang pokok kita harus tahu dahulu di mana musuh adanya... untuk itu kita harus adakan operasi intelejen...!
- Siapa yang dikirim Mas?!?
+ Apa... Mas?!? Bilang... jenderal!!
- Oh... ya... jenderal!!
+ Buat operasi intelejen kita butuh bantuannya rakyat! ... nah... tuh lihat di sana ada Musli lagi ngangon kambing... Kita minta tolong sama dia buat nyelidik. (Musli adalah pengasuh kambing-kambing di Istana).

- Muuusss...!!! Musliii!!... kemari!!! Dipanggil... sama Mas Tok!!!.... eh... sama jenderal!!
Ergopoh-gopoh Musli pun datang ke tempat briefing...
v ... Heh... heh... a... a... da... apa... Mas?? (heh-heh = suara napas ngos-ngosan).
- Eeeehhhh...! jangan panggil... Mas!!
Sekarang sedang jadi jenderal Beledek!! (serempak kakak-kakak berkata pada Musli).
+ Gini... Mus... kita lagi perang sama pasukannya Marsekal Putu Ngurah Djoni. Tapi kita belon tau di mana mereka! Nah, kamu ya Mus pergi keliling Istana belagak angon si Bandot cari tau di mana mereka ngumpet. Kalau udah tau kasi kabar ke sini... ngerti?!?
v Ya.. Mas!! Eh... Mas Jenderal.
+ Nih... logistiknya!!
v Apa Mas... eh... Mas Jenderal... eh... pak Jenderal?!?
+ Nih pisang buat kamu!!

Setengah jam kemudian Musli pun datang kembali dan melaporkan hasil pengamatannya...
v lapor... pak jenderal!
+ Ya... gimana???
v Mereka ngumpet di dekat kapaliun, sampe ke Tenes ban, di kebunannya. (Kapaliunan = Paviliun di sebelah kanan Istana Merdeka. Daerah Paviliun Istana plus tennis Bannya sekarang tidak ada dan sudah jadi komplex Mesjid Baitul Rachim).
+ Hem... makasih... Mus!
Nih... logistik lagi!! (sambil menyodorkan jeruk garut pada Musli).

Pasukan kita bagi dua kelompok. Kak Timin sama satu orang lagi ambil posisi di Kupel taman anak-anak; terus diem di situ. Saya sama kakak-kakak yang lain akan melambung melipir pinggiran Sekretariat Negara terus ke ujung depan taman Istana Merdeka (Sekneg waktu itu masih menempati gedung Dewan Pertimbangan Agung sekarang yaitu di sebelah kiri Istana Merdeka).
Kalau saya sudah sampai di pos penjagaan kak CPM, yang sebelah dalam, bukannya yang depan lho; kak Timin segera nyebrang lapangan terus melipir bawah pantry istana dan ambil posisi di semak-semak di bawah kamarnya Rachma. Ngumpet di situ sampe saya berada di depan pos asrama kak CPM di Gambir Utara. Kalau saya sampe di situ, tarik perhatian musuh... pokoknya nongol-nongol aja dikit... kalau saya udah kasi tanda... kita serang sama-sama! Jelas... enggak??
- Jelas... jenderal (menjawab serempak).
+ Ayo kita berangkat...

Maka mulailah pasukanku mengambil posisi-posisi seperti apa yang telah digariskan tadi... Aku bersama kakak-kakak yang lain dengan sigap melompati pagar Sekretariat Negara dan melipir di pinggirnya menuju pos Kak CPM sebelah dalam, dari situ lalu terus ke ujung taman depan Istana Merdeka dan belok ke kanan meniti pagar depan Istana Merdeka, (tentunya dengan jalan merunduk satu per satu seperti dalam keadaan perang sungguhan) untuk kemudian mengambil posisi di ujung taman depan Istana Merdeka sebelah kanan. Waktu pasukanku melintas menyebrang lapangan depan Istana Merdeka sambil merapat ke pagar besinya, pandangannya sungguh menakjubkan. Betul-betul seperti dalam siaga tempur! Apalagi karena beberapa kakak-kakak memakai topi baja mereka seperti halnya dengan aku sendiri. (aku pinjam topi baja dari salah seorang kakak-kakak). Ketika aku dan pasukanku sampai pada semak-semak dekat pos asrama CPM di sebelah ujung kanan halaman Istana Merdeka kulihat pasukan kak Timin pun sudah tiba pada posisi yang ditentukan semula yaitu semak-semak di bawah kamarnya rachma.
Begitu aku hendak memberi aba-aba untuk mulai serang-serangan tiba-tiba dari pos penjagaan Istana Merdeka komandan jaga berlari turun tergopoh-gopoh dari istana ke arah aku...
* Mas Tok...! ... Mas Tok!... perangnya setop dulu Mas!!! Cease Fire! Cease Fire!!
+ Emangnya kena apa kak??
* Anu Mas... (hoh... hoh... hoh...) ... anu Mas katanya dari... anu Mas, dari KMKB menanyakan di istana ada apa kok waktu KMKB patroli mereka melihat pasukan pengawal mengambil posisi tempur di depan Istana Merdeka! Makanya lebih baik perang-perangannya distop saja dulu! Nanti jakarta bisa gawat!! (hoh... hoh... hoh... = suara napasnya. KMKB = semacam KODAM sekarang).
+ Ah... masa... kak???!?
* Sungguh mati Mas!!
+ Busyeeettt!!... mati... gua!!
... kaaakkk hayo... perangnya bubaaaaarrrrr!!!

Waktu Bapak sudah datang dari Bogor aku dipanggilnya untuk ditanyai soal perang-perangan tadi...
@ Heh... Tok... aku dapat laporan kau bikin geger petugas-petugas keamanan Jakarta ya!?!
+ He-eh... p... p... pak, tapi aku nggak sengaja. (sambil menjawab dengkulku rasanya linu karena gemetar...).
@ Aku tahu... Kalau keadaan gawat begini ndak usah main perang-perangan dulu; nanti kalau keadaan sudah normal saja...
+ Ya... pak... (dalam hati: plooooongng!!)
@ kau jadi jenderal ya waktu perang-perangan??
+ gitu... deh...
@ Ini Bapak punya buku bagus tentang jenderal... Bacalah!! Dia adalah salah satu jenderal favourite Bapak...
+ ... Ya... pak...
Ketika kulihat ternyata buku tadi adalah buku tentang seorang jenderal berdarah Indian dari U.S. Cavalry yang terkenal yaitu: William “Tacum” Tacumseh Sherman.