06/11/2010

PAUS MENGADAKAN PANTOMIM

Oleh: Anthony de Mello

Lama, beratus-ratus tahun yang lalu, di zaman Abad Tengahan
Sri Paus didesak oleh para penasihatnya untuk mengusir orang
Yahudi dari Roma. Tidak selayaknya, kata mereka, bahwa
orang-orang ini hidup tak terganggu di tengah pusat Agama
Katolik. Ketentuan tentang Pengusiran diputuskan dan
diumumkan, menjadi keresahan bagi orang Yahudi yang tahu
bahwa bagaimanapun juga, mereka hanya bisa mendapat
perlakuan lebih jelek dari yang diterima di Roma. Maka
mereka mohon kepada Paus, untuk meninjau kembali keputusan
itu. Paus, orang berpikiran luas, menawarkan suatu usul yang
menarik. Silakan golongan Yahudi menunjuk orang yang
berdebat dengan dia tanpa berbicara, pantomim. Jika
jurubicara mereka menang, mereka boleh tinggal.

Orang Yahudi bertemu merenungkan usul ini. Menolaknya
berarti diusir dari Roma. Menerimanya itu mengundang
kekalahan total, sebab siapa menang dalam debat, di mana
Paus menjadi peserta dan wasitnya? Namun tidak ada jalan
lain kecuali menerima. Hanya, barang tidak mungkin menemukan
seorang sukarelawan untuk tugas berdebat dengan Paus. Beban
memikul nasib seluruh kelompok Yahudi di punggungnya itu
lebih daripada yang dapat ditanggung oleh seseorang.

Ketika tukang pintu sinagoga mendengar apa yang sedang
terjadi, ia menghadap rabbi Tertinggi dan menawarkan diri
untuk mewakili bangsanya dalam debat. "Tukang pintu?" kata
rabbi lainnya, ketika mendengar itu. "Tidak mungkin!"

"Sudah," kata rabbi Tertinggi, "kita tidak ada yang mau.
Tinggal ini; si tukang pintu atau debat batal." Maka karena
tidak ada orang lain, tukang pintu ditunjuk untuk berdebat
dengan Paus.

Ketika hari besar datang, Paus duduk di atas tahta di
alun-alun St. Petrus, dikelilingi oleh para Kardinal,
menghadapi rombongan besar para uskup, imam dan umat. Kini
rombongan kecil utusan Yahudi datang dengan jubah hitam dan
janggut melambai, serta tukang-pintu di tengah mereka.

Paus berpaling menghadap si tukang-pintu dan debat dimulai.
Paus resmi mengangkat satu jari dan menggariskannya melintas
di langit. Tukang pintu segera menunjuk dengan tegas ke
tanah. Paus rupanya sedikit mundur. Lebih anggun dan resmi
ia mengangkat jari lagi, tegas-tegas dihadapkan pada
tukang-pintu itu di mukanya. Tukang-pintu mengangkat tiga
jari menunjukkan sama tegasnya di hadapan Paus, yang
rupa-rupanya heran akan gerakan ini. Lalu Paus memasukkan
tangan dalam kantongnya dan mengambil sebuah apel. Di situ
tukang-pintu memasukkan tangan dalam kantong kertas dan
mengambil matzo, selempeng roti. Di sini Paus menyatakan
dengan suara nyaring: "Wakil orang Yahudi menang dalam
debat. Keputusan pengusiran dengan ini ditarik kembali."

Para pemimpin Yahudi mengelilingi tukang-pintu dan dibawa
pergi. Para kardinal berkerumun sekitar Paus
keheran-heranan. "Apa yang terjadi, Bapa Suci?" tanya
mereka. "Tidak mungkin kami mengikuti debat yang berjalan
begitu cepat." Paus mengusap peluh dari dahinya dan berkata:
"Orang ini teolog cemerlang, menguasai debat. Aku mulai
dengan menggariskan tanganku di langit untuk menunjukkan
bahwa seluruh alam raya itu milik Tuhan. Ia langsung dengan
jari ke bawah mengingatkan aku, bahwa ada tempat yang
disebut Neraka, di mana setan yang berkuasa. Aku lalu
mengangkat jari untuk menyatakan bahwa Tuhan itu esa. Aku
membayangkan heran, ketika ia mengangkat tiga jari untuk
menyatakan bahwa Tuhan yang satu itu juga menyatakan diri
dalam tiga pribadi, dan demikian meyakini ajaran kita
sendiri tentang Tritunggal! Tahu bahwa tidak mungkin untuk
menang di bidang teologi, aku akhirnya mengarahkan debat ke
bidang lain. Aku mengambil sebuah apel, menyatakan, bahwa
menurut sementara pendapat baru bumi ini bulat. Ia langsung
mengeluarkan selempeng roti tak beragi untuk mengingatkan
saya bahwa, menurut Kitab Suci, bumi itu datar. Maka tidak
ada jalan lain daripada mengakui kemenangannya."

Nah, sekarang kelompok Yahudi sampai di sinagoga. "Apa yang
terjadi tadi," tanya mereka kepada tukang-pintu
terbengong-bengong. Tukang-pintu sedikit gusar. "Semua hanya
soal latah," katanya. "Ini. Pertama, Paus menggerakkan
tangannya seperti menyatakan, bahwa semua orang Yahudi harus
meninggalkan Roma. Maka aku menunjuk ke bawah untuk
menjelaskan kepadanya, bahwa kita tidak akan beranjak. Lalu
ia menunjukkan jarinya kepadaku dan mengancam seakan
berkata: Jangan main-main dengan saya. Maka aku menunjukkan
tiga jari untuk mengatakan kepadanya ia tiga kali main-main
dengan kami, kalau ia sewenang-wenang menyuruh kami
meninggalkan Roma. Berikutnya. Aku melihat dia mengeluarkan
bekal makanannya. Lalu aku mengeluarkan bekalku juga."


Cerita di atas merupakan bagian dari kumpulan cerita Doa Sang Katak - Anthony de Mello, temukan selengkapnya di sini.