04/11/2010

RYONEN SEORANG PETAPA BUDDHA

Oleh: Anthony de Mello
 
Ryonen, seorang petapa Buddha dilahirkan pada tahun 1779. Ia
adalah cucu Shingen, seorang prajurit terkenal. Ia dianggap
sebagai seorang yang tercantik di seluruh Jepang, sekaligus
seorang penyair berbakat besar. Maka sejak usia tujuh belas
tahun ia telah dipilih menjadi pelayan istana. Di situ
tumbuh dengan hangat rasa cintanya yang mendalam kepada Ratu
Putri. Ternyata Ratu Putri wafat secara mendadak. Ryonen
memperoleh pengalaman batin yang sangat mendalam: ia menjadi
benar-benar sadar bahwa segala sesuatu akan berlalu. Pada
saat itulah ia memutuskan untuk mempelajari Zen.

Akan tetapi keluarganya tidak mau tahu. Mereka memaksa
untuk menikah. Namun Ryonen menuntut agar mereka dan calon
suaminya berjanji, sesudah ia melahirkan tiga anak bagi
suaminya, ia bebas untuk menjadi petapa. Syarat ini
dipenuhi ketika ia berusia dua puluh lima tahun. Pada waktu
itu baik bujukan suaminya maupun semua hal lain di dunia
tidak dapat menghalanginya untuk melaksanakan ketetapan
hatinya. Ia mencukur rambutnya, mengambil nama Ryonen (yang
artinya memahami dengan jelas) dan mulai pencariannya.

Ia sampai ke kota Edo dan memohon kepada Guru Tetsugyu untuk
menjadi muridnya. Guru itu memandangnya sekilas dan
menolaknya karena ia terlalu cantik. Maka ia pergi ke Guru
yang lain yang bernama Hakuo. Ia ditolak dengan alasan yang
sama: kecantikannya, kata Guru itu, hanya akan menjadi
sumber masalah. Maka Ryonen membakar wajahnya dengan besi
panas dan dengan demikian merusakkan kecantikannya seumur
hidupnya. Ketika ia kembali menghadap Hakuo ia diterima
sebagai murid.

Untuk mengenang pengalaman itu Ryonen menulis sebuah puisi
di balik sebuah kaca kecil:

Sebagai hamba Ratu Putri
aku membakar dupa
untuk mengharumkan pakaianku yang indah
Sekarang sebagai pengemis tak berumah
aku membakar wajahku
untuk memasuki dunia Zen.

Ketika ia menyadari bahwa saatnya telah tiba untuk
meninggalkan dunia ini ia menulis puisi lagi:

Enam puluh kali mata ini telah memandang
keindahan musim gugur ...
Tak usahlah menginginkan lebih daripada itu.
Hanya dengarlah suara gemerisik
pohon-pohon cemara
saat angin tak berhembus.


Cerita di atas merupakan bagian dari kumpulan cerita Doa Sang Katak - Anthony de Mello, temukan selengkapnya di sini.