24/10/2007

Chairil Anwar: Aku Ini binatang jalang

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang


Siapa yang tak kenal penggalan sajak tersebut?
Saya masih ingat ketika seorang teman sekolah dulu sekali –dia seorang cewek- membawakan puisi ini di depan kelas, dan benar-benar menggetarkan, buat merinding. Sajak ini memang begitu dalam karena biasanya dibawakan dengan nada menggelegar dan semangat menggelora. Dari segi maknawiah ini berisikan sebuah keberanian atas pengakuan eksistensi si penyair terhadap keakuannya, mau menerima dirinya walau pengakuan atas keberadaan dirinya sendiri tersebut dikatakannya sebagai binatang jalang. Bahkan si binatang jalang tadi masih ingin hidup seribu tahun lagi dengan segala luka dan pemberontakannya. Heroik bukan?

Mungkin benar kalo Chairil adalah seperti sosok binatang, tapi binatang yang bahkan boleh dikatakan “aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang” atau enaknya “aku ini binatang jalang juga, tapi bukan termasuk golongan anda”. Karakteristik binatang ini sekarang banyak dipakai oleh orang-orang untuk mengidentifikasi manusia, contoh: koruptor yang dicitrakan sebagai tikus atau serigala untuk orang yang bermental keji. Mungkinkah bintang seperti ini yang masih membawa kebanggaan bagi Chairil? Mungkin jawabannya tidak. Enakan jikalau ditafsirkan sebagai, aku telah pergi dari kumpulan kebinatangan sehingga sekarang aku adalah manusia…

Tetapi saya juga tergelitik dengan baris sajaknya di bawah ini:

Tak sepadan

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa ahasveros
Dikutuk disumpahi eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu jua pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka


Februari 1943

Sajak ini bertanggalkan Februatri 1943 dan akan ditemukan lagi dengan perbedaan judul dan tanggal.

Lagu Siul

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja


II

Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa averos
Dikutuk-sumpahi eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tak kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka


25 November 1945

Menarik untuk dicermati bahwa puisi di atas berbeda dua tahun lebih dari puisi sebelumnya, hanya yang berganti adalah judul dan tambahan pada puisi tersebut. Pada puisi yang lebih awal judul yang dicantumkan adalah tak sepadan dan yang lebih muda adalah lagu siul. Kesan yang ditangkap ketika membandingkan kedua judul ini sangat kentara, pada puisi yang berjudul tak sepadan memang terasa, kontras nasib aku dan kau dipandang sebagai suatu ketidak adilan, tidak sepadan. Selanjutnya pada puisi kedua tampaknya, semua yang terjadi dan dipuisikan tersebut dianggap segitu entangnya, “Lagu siul,” terkesan entang, nyantai dan bahkan bisa didendangkan sambil berak di kamar mandi. Juga baris-baris pada fragmen/ bagian pertama menunjukkan ciri sufistik disana. Dalam tema-tema yang sering ditampilkan dari cerita sufi adalah tentang laron dan nyala api, dimana engkau baru bisa tahu apa rasa api itu jika kau telah hangus di dalamnya. Laron adalah aku dan api adalah cerlang caya matamu (keindahanmu). Dan akhirnya, habis hangus di api matamu// ‘Ku kayak tidak tahu saja. Pantas saja si penyair memberikan judul lagu siul karena semua itu dijalankannya dengan begitu entangnya.
Selain itu ada juga puisi yang saya sukai, bukan karena kualitas atau apapun itu, justru karena subyektif pribadi karena puisi ini pernah dicantumkan di teks book buku pelajaran sekolahan. Dan sang guru bilang itu puisi ditulis karena Chairil lagi patah hati. Br…. Dan puisi itu judulnya “Senja Di Pelabuhan Tua”

Trus kemudian buku yang isinya tersusun secara sistematik berdasarkan tahun kepenulisan Chairil ini juga dilengkapi dengan surat-surat Chairil sama H. B. Jasin, inti dari surat-suratnya adalah kemauan Chairil untuk totalitas dalam berkarya sebagai seniman.
Buku kumpulan puisi karya Chairil Anwar ini ditutup oleh ulasan oleh pakar seni bahasa, Sapardi Djoko Damono. Oom Sapardi banyak mengulas dari sisi historisme puisi ini. Dikatakan bahwa Chairil ini menjadi ikon seniman pada massanya dan penilaian atas karyanya dipengaruhi oleh sejarah hidupnya yang mati muda serta ada campur tangan dunia politik dalam memandang Chairil demi kepentingan politis. Tetapi di akhir uraiannya Sapardi akhirnya mengatakan bahwa, apapun itu Chairil tetap Chairil dan dia telah menjadi Chairil.
Satu lagi dari karya puisi Chairil Anwar, selain diperkenalkan di bangku sekolah juga di boomingkan lagi dengan adanya film “Ada Apa Dengan Cinta” dimana dalam film tersebut Rangga yang di perankan oleh Nikolas Saputara sangat menyukai puisi-puisi karya Chairil Anwar ini. Rangga diceritakan memiliki watak introvert sekaligus pemberontak, selfist dan keras. Tampaknya image Chairil Anwar sang pencipta puisi dicitrakan melalui tokoh Rangga dalam film ini yang berperan sebagai penggemarnya. Ada hubungan yang saling mempengaruhi antara film dengan buku ini (aneh, saya jadi inget juga sama tokoh Rahel sang penulis dalam “andai ia tahu” yang pengen makan malem dengan mas Pram, mas Pram kan udah almarhum :)).
Nah ini dia hubungannya:
Buku Chairil Anwar dengan sampul abu-abu ini, yang memperlihatkan si jalang itu sedang menghisap dalam-dalam rokoknya, tercatat telah dicetak sebanyak 17kali (sampai oktober 2006). Dalam range yang lebar antara tahun 1993 dan 2000, hanya terdapat sekali pencetakan yaitu pada tahun1996, buku ini dicetak kembali pada februari tahun 2000 dan kemudian selalu dicetak tiap tahunnya. Bahkan ada yang dua kali turun cetak tiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan film “ada apa dengan cinta” (bahasa inggris: whats up with love!), film ini pertama kali dirilis pada tahun 2002, tepatnya 8 Februari 2002. Tampaknya film ini memasukkan buku Chairil Anwar ke filmnya juga setelah buku ini diterbitkan kembali. Dan ternyata film ini juga berhasil menggenjot penjualan buku “Aku Ini Binatang Jalang” karya Chairil tersebut, Buktinya setelah itu setiap tahun selalu dicetak ulang kembali.
Hubungan film dan buku ini sangat menarik. Film AADC ini berhasil mengangkat buku Chairil tersebut. So? Kalau mau ngelarisin buku, contoh ini film…

Data Buku:
Judul : Aku Ini Binatang Jalang
Pengarang : Chairil Anwar
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Keempat 1990, ketujuh belas oktober 2006