Salah satu karya master piece dari Tan Malaka adalah Madilog. Buku ini setebal 410 halaman dan diterbitkan oleh Widjaya Jakarta tahun 1951. Ditulis oleh Tan Malaka selama 8 bulan, masing-masing menghabiskan tiga jam sehari dan selesai pada tanggal 30 Maret 1943.
Siapakah Tan Malaka itu? Namanya jarang disebut dalam buku-buku sejarah, tetapi orang pasti akan menduga dia berasal dari ras melayu begitu mendengar namanya, Tan Malaka, begitu dekat dialeknya dengan Hang Tuah, selain itu nama Malaka juga akan dengan cepat mengingatkan kita tentang selat yang memisahkan antara Sumatra dan Malaysia. Dalam kata pendahuluan buku ini, banyak hal yang dapat diketahui tentang Tan Malaka, dimana dia juga menceritakan tentang sejarah hidup dan pelariannya selain sebagai kata pembuka/ penjelas untuk materi bukunya. Disana juga tertulis kesan bahwa Tan Malaka lebih terkucil dibandingkan kedua pemimpin nasional saat itu, Soekarno-Hatta.
Sekarang apakah madilog itu? Dalam pengantar bukunya, Tan Malaka menyebutkan, “Bukankah pelarian politik itu mesti ringan bebannya seringan-ringannya?”, kata-kata ini dipakainya untuk memperjelas tentang “Jembatan keledai (ezelbruggetje)”, yaitu cara menghapal ilmu dengan menyingkat bahannya. Seperti madilog itu sendiri, madilog itu digunakan untuk menyingkat MAterialisme-DIalektika-LOGika. Juga banyak singkatan-singkatan yang lain digunakan guna menghapal ilmu atau langkah kerja. Orang pelarian semacam Tan Malaka ini menggunakan jembatan keledai untuk mengingat ilmu dan mempersedikit catatan/ bawaan, buku2nya yang tertulis.
Mengenai materialisme, materialisme itu sendiri dikatakannya, “Jang mengatakan pikiran lebih dahulu itulah pengikut idealisme, itulah jang idealis. Jang mengatakan matter, benda, lebih dahulu barulah datang fikiran, itulah jang pengikut materialisme.”
Dalam novel filsafat Dunia Sophie, dalam satu percakapan disebutkan bahwa, “Seperti yang sudah kukemukakan, sebagian filosof percaya bahwa apa yang ada ini bersifat spiritual. Sudut pandang ini disebut sebagai idealisme. Sudut pandang kebalikan disebut materialisme. Dengan ini yang dimaksud adalah filsafat yang menganggap bahwa semua hal yang nyata itu berasal dari substansi materi yang kongkret.” (J Gaarder, Dunia Sophie, hal 252.)
Sebagai pembanding saya sertakan juga kutipan dari Harun Yahya, “Filsafat yang menganut materialisme tak pernah dapat menerangkan sumber kesadaran manusia, yaitu pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh ruh manusia. Bagi filsafat materialisme, materi adalah satu-satunya hal yang ada. Berbagai kualitas yang dimiliki oleh ruh manusia seperti kesadaran, pikiran, proses pengambilan keputusan, kebahagiaan, kegembiraan, keindahan, kenikmatan dan kemampuan menilai tidak pernah diterangkan, dalam konsep materialisme. (Harun Yahya, Hakikat Dibalik Materi, hal 84).
Sekarang apakah dialektika itu? Dialektika dapat diterjemahkan dengan pertentangan atau pergerakan. Dialektika itu pada dasarnya digunakan untuk menjawab pertanyaan yang tak mampu dijawab secara “ya” atau “tidak” dengan logika. Sebab-sebab munculnya dialektika disebutkan seperti: waktu, berseluk-beluk (rumit, pen), pertentangan dan gerakan. Contohnya ialah menjawab pertanyaan, “Apakah Edison itu pintar atau tidak:?” maka kita tidak dapat menjawab begitu saja, karena Edison itu berubah terhadap waktu, waktu mengubah Thomas Alfa Edison dari murit bodoh menjadi cerdas. Atau pertanyaan, “Pantaskah perilaku meribakan uang itu?” lagi-lagi tak dapat dijawab secara pasti “ya” atau “tidak” karena ada pertentangan/ sudut pandang/ point of view masing-masing di sana, yaitu sudut pandang proletar dan borjuis. “Soal djawab yang hangat dan berguna, jang menambah pengetahuan kedua belah pihak inilah dialogue. Sematjam inilah jang tergambar diotak manusia tentang dialektika” (hal 110). Dan juga pada penjelasan tentang dialektika ini, Tan Malaka juga menjelaskan mengenai bandingan antara dialektika materialistis dan dialektika Idealis.
Dan logika itu? Logika adalah “ilmu berpikir”. Syahdan menurut logika, ja itu semata-mata ja, bukan berarti tidak. Dan tidak itu sama sekali tidak, bukan berarti ia (Halaman 153), dan mengenai teknis logika, Tan Malaka mengatakan , “Sjahdan maka penguraian tentang induction, deduction dan verifikation, inilah pekerjaan yang utama dari logika. Inilah sumbu, axisnja logika.”
Buku ini benar-benar memuat bahan pelajaran yang luas dan juga rumit, dan juga tebal, juga masih menggunakan ejaan lama. Memang banyak memuat soalan filsafat, tapi tampaknya tak layak kalau kita hanya melabelinya hanya sebagai buku filsafat. Tan Malaka sendiri menyebutkan maksud Madilog itu sendiri lebih pada cara berpikir bukannya pada suatu pandangan hidup (Weltanschauung/ filsafat), walaupun keduanya itu rapat sekali. Setelah pada bab-bab awal dia panjang lebar mengurai pengertian dan penjelasan mengenai Madilog ( dipecah menjadi pembahasan materialisme, dialektika dan logika), pada bab-bab akhir ia meninjau berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan alat tinjau Madilog.
Begitu banyaknya ilmu yang bisa ditulisnya, sangat dimungkinkan berhubungan degan pengembaraannya dalam pelarian yang singgah ke kota-kota di bucu-bucu dunia. Dia menulis mengenai titik terkecil alam raya sampai ke jagad raya, juga menulis mengenai hidup dan sistem kepercayaan (dibaginya menjadi kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan hindustan, kepercayaan asia barat, kepercayaan tiongkok), dan juga ditambah dengan uraian mengenai teori relativitas. Dan juga yang perlu diketahui, Tan Malaka meninjau dan mengkritisi semua pokok bahasan itu dengan alat bedah Madilog. Juga pada beberapa bagian akan kita temui betapa Tan Malaka ini sangat mengkritisi apa yang disebut dengan logika mystika (mistisme, pen).
Terakhir Tan Malaka menggambarkan imajinasinya, sebuah utopia tentang perfect society, dan dia mengimajinasikan akan ada yang namanya taman manusia. Taman ini adalah taman yang berisi peringatan tentang manusia, berupa tugu-tugu dan patung-patung. Taman tempat para pemuda-pemudi dibawa untuk melihat, mengenal dan mengetahui tentang manusia, tentang tingkah laku/jasanya.
Tetapi jika saya cermati, imajinasi ini lebih tepat dikatakan sebagai pandangan subjektif Tan Malaka mengenai golongan manusia. Baiknya kita ketahui untuk lebih mengenal Tan Malaka dan tokoh-tokoh yang dimaksudnya.
- Golongan yang disebutnya manusia najis, meliputi (Tan Malaka tidak menyebut nama):
Manusia najis no. 1, golongan mereka yang dengan langsung membantu penjajah penindas, penghisap dan pembunuh rakyat Indonesia. - Kemudian, golongan yang tak langsung membantu musuh Indonesia.
- Kemudian mereka yang tak termasuk kedua golongan di atas tetapi ikut mengecap kesenangan bersama dengan musuh rakyat, merugikan rakyat.
- Kemudian meraka-mereka yang bermata tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar, berotak tapi tak berpikir.
Dia menggambarkan, ketika rombongan penziarah memasuki taman manusia yang memiliki pemandangan dan lingkungan yang permai, perhatian mereka terbentur pada patung peringatan para “manusia nadjis” tersebut yang mengubah suasana menjadi muram. Setelah itu mereka melanjutkjan ziarah ke daerah sebelah kanan, dimana terdapat tempat peringatan manusia berjasa kepada Indonesia lebih kurang 2000 tahun ini.
Golongan yang dimasukkannya ke Indonesia: (dia gambarkan melalui imajinasi, rombongan berjalan ke arah puncak bukit).
- Gadjah Mada dan Hayam Wuruk, patung kedua tokoh ini dengan beberapa alasan dikatakannya sebagai bentuk yang besar, tapi kabur warnanya.
- Hang Tuah, Diponegoro, Imam Bondjol dan Teuku Umar, dikatakan tidak terlalu besar tetapi terang sekali.
- Dr. Tjipto Mangunkusumo, Muhammad Husni Tamrin, dll.
- Djose Rizal dan Bonifacio.Tan Malaka banyak memuji kedua tokoh ini, tulisnya: (Madilog, Hal 405): “Mereka memperingatkan kata Russsel, bahwa ‘universal genius’ maha tjerdas dalam segala ilmu itu, tidak terdapat di bangsa lain, melainkan pada Malay Race, diantara bangsa Indonesialah. Clefford djuga mengaku ketjerdasan luar biasa dari dokter muda bangsa Indonesia tulen ini!” (catatan: Dr Rizal selama ini saya ketahui adalah pejuang bangsa Filiphina, dari buku-buku teks sejarah sekolah.)
Golongan yang dimasukkannya ke Internasional, (diimajinasikan juga dalam sebuah perjalanan naik ke puncak bukit di sebelah kiri “bukit Indonesia”, untuk membaca dan mengenal tokoh-tokoh dunia):
- Golongan yang katanya "digembar-gemborkan oleh kaum nasionalis", dan juga golongan pemberontak 1926 (Subakat, Dahlan, Ali Archam, Hadji Misbah, Sugono, Dirja, dll. Dikatakannya golongan ’26 ini adalah golongan yang menyebabkan nama Indonesia menjadi perhatian Internasional.)
- Golongan pembentuk agama, seperti Zarahthustra, Isa, Musa dan Buddha, (Tan Malaka juga menggambarkan kalau untuk nabi Muhammad, tidak ada patungnya, hanya tugu peringatan dimana bisa dibaca sejarah pendek dan dasar ajarannya, karena nabi Muhammad melarang menyembah patung; juga dilukiskan patung Maha Guru Kung ditaruh diantara pembentuk agama dan filsafat); Filsuf dunia, seperti Socrates, Plato, Ariestoteles, juga Heraklit, Demokrit dan Epikur, juga Ibnu Rusyd, Wakidi, David Hume, Hegel, dsb ; Penyair dunia, Omar Khayam, Li Po, Shakespeare, Poesjkin.
- Golongan Science, Galen, Ibnu Sena ; Ahli fiska, Archimedes, Pascal ; Ahli Kimia, Dalton, Mendelief, Mosky ; Matematika, Poincare, Gauss, Einstein ; Ilmu Bintang, Coppernicus, Galilea, Newton, Einstein ; Biologi, Darwin, Mandell ; listrik, Faraday, Edison, Ohm, dsb.
(Dari sini Tan Malaka juga melukiskan, mereka melihat ke bawah, ke kaki bukit, terdapat patung Julius Cesar, Napoleon, Bismark, Lincoln, karena para tokoh tersebut ada disebutkan keulungannya buat hawa nafsunya sendiri.) - Golongan Pembentuk masyarakat baru, pemikir bordjuis, Rousseau, Voltaire, Montesque ; borjuis utopis, Saint Simon, Fourir dan Robert Owen ; pemimpin, Robespierre, Danton dan Blanqui ; sosialis, Lassalle, Hilferding, Kautsky. Bapak sosialisme, Karl Mark dan Engels serta pengikut besarnya seperti Lenin, Trotsky, Rosa Luxemburg dll.
Apakah golongan pembentuk masyarakat baru ini menempati posisi tertinggi menurut Tan Malaka? masih belum jelas, karena Tan Malaka juga menulis sebelum dia menjabarkan tentang golongan masyarakat baru, “Ackhirnya mereka, walaupun sudah lelah sampai juga kepuntjak bukit. Dari jauh kelihatan sinar yang terpantul dari patungnya para nabi. Pada dataran yang sama tinggi didapati patungnya pembentuk masjarakat baru.”
Begitulah “kasta” pada taman manusia menurut imajinasi/ pandangan/cerita Tan Malaka.
Secara umum saya sendiri menganggap buku ini penuh kritik tajam dan terkadang dalam beberapa bagian bahasanya terlalu panas dan keras. Selain juga memuat ilmu yang begitu luasnya. Tetapi apapun itu, jelas isi buku ini masih bermutu tinggi terutama bila kita merujuk saat buku ini diterbitkan adalah di awal-awal masa kemerdekaan dan ditulis pada saat prakemerdekaan, lebih-lebih jika kita tahu buku ini dibuat oleh orang pelarian.
Data Buku:
Judul : Madilog, materialisme dialektika logika
Penulis : Tan Malaka
Penerbit : Widjaya Djakarta
Cetakan : 1951
Buku : 410 hal