21/05/2008

Menjadi Penyair Lagi, Menjadi Pejuang Lagi

Selamat merayakan satu abad Kebangkitan Nasional dan sepuluh tahun Reformasi.

Bacalah larik-larik puisi karya Asep Zam-zam Noer berikut ini:

Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu
Di lantai keramik yang licin. Aku salalu terkenang kepadamu
Setiap melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi
Atau setiap menyaksikan penyanyi dangdut di televisi
Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Bau parfummu yang memabukkan
Tiba-tiba menyelinap lewat pintu kamar mandi
Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi
Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata
Sedangkan bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu
Telah menjelmakan kata-kata juga
Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan
Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja kaca
Bersama kertas, rokok dan segelas kopi. Lalu kutulis puisi
Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika kurasa suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku
Kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu
Celana dalam, BH serta ikat pinggangmu
Yang dulu kau tinggalkan di bawah ranjang
Sebagai ucapan selamat tinggal
Tidak. Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan
Juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan
Penyair tidak menangis karena dikhianati
Juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam
Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalnya peperangan yang tidak henti-hentinya
Pembajakan, pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya
O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi

Asep Zam-zam Noer bersama buku puisi “Menjadi Penyair Lagi” (Pustaka Azan, 2007) yang memuat puisi ini adalah pemenang KLA Awards 2007 untuk kategori puisi, bersama dengan “Perantau” (GPU, 2007) untuk kategori prosa karya Gus tf Sakai dan “Dan Hujan Pun Berhenti” (Grasindo, 2007) karya Farida Susanty untuk kategori penulis muda terbaik. KLA Awards ini selain memberikan kebanggan dan pengakuan, kalau diukur dengan duit, karya sastra terbaik dapat 100 juta dan pendatang baru terbaik 25 juta.

Oke. Puisi ini menjadi Juara KLA, yang prestisius bagi sastrawan di Indonesia. Ada apa dibalik “Menjadi Penyair Lagi”?

Situasi Yang Menciptakan Seseorang Menjadi Penyair
Penyair dan segala kreatifitasnya bisa jadi lahir ketika sesuatu menekan perasaannya. Anda bisa baca pada buku La Tahzan (Jangan Bersedih!), pada bahasan tentang “Nikmatnya Rasa Sakit”. Di sana dituliskan bahwa (hal 64):
Di dunia ini banyak orang yang berhasil mempersembahkan karya terbaiknya dikarenakan mau bersusah payah. Al Mutanabbi, misalnya, ia sempat mengindap rasa demam yang amat sangat sebelum berhasil menciptakan syair yang indah berikut ini:

Wanita yang mengunjungiku seperti memendam malu
ia hanya mengunjungiku di gelapnya malam

Syahdan, an Nabighah sempat diancam akan dibunuh oleh Nu’man ibn al-Mundzir sebelum akhirnya mempersembahkan bait syair berikut ini:

Engkau matahari, dan raja yang lain bintang-bintang
Tatkala engkau terbit ke permukaan,
Bintang-bintang itu pun lenyap tenggelam


Selanjutnya, DR. ‘Aidh al-Qarni memberikan penjelasan (hal 65):
Saya banyak menjumpai syair-syair terasa sangat dingin, tidak hidup, dan tidak ada ruhnya. Itu, bisa jadi karena kata-kata yang teruntai dalam bait-bait tersebut bukan terbit dari sebuah pengalaman pribadi sang penyair, tetapi suatu dikarang dan direka-reka dalam aura kesenangan. Karya-karya yang demikian itu tak ubahnya dengan potongan-potoangan es dan bongkahan-bongkahan tanah; dingin dan tawar.

Jelas sekali, dari uraian DR. ‘Aidh al-Qarni bahwa penyair dan syair itu lahir dari perjuangan. Saya setuju itu. Tapi selain itu, ada satu situasi lagi yang melahirkan para penyair: situasi jatuh cinta.
Situasi jatuh cinta pun hampir sama situasi dalam perjuangan, pokoknya bagi yang pernah merasakan tahu betul rasanya. Kalo mau bicara extreme, orang yang sedang jatuh cinta itu gak mau makan, gak bisa tidur, gak bisa konsentrasi, maunya? Bikin puisi…

Esensi Menjadi Penyair Lagi
Esensi dari menjadi penyair lagi adalah situasi yang kembali menuntut perjuangan kita setelah masa-masa penuh kedamaian, itu mungkin saja terjadi. Menjadi penyair lagi dapat dikatakan menjadi seorang pejuang kembali. Indonesia masih butuh pejuang, Indonesia masih membutuhkan seseorang yang menjadi penyair, “memiliki semangat Chairil Anwar”. Kita tahu, dalam lingkup kebangsaan, setelah kemerdekaan masyarakat Indonesia menjadi sebagai penikmat kemerdekaan. Menjadi penyair lagi adalah sebuah kesadaran bahwa bangsa ini belum sepenuhnya merdeka, dan kita dituntut untuk menjadi pejuang lagi. Menjadi penyair lagi adalah keterjagaan, bangun dari keterlenaan.

Dapat juga terjadi, menjadi penyair lagi dikatakan sebagai seseorang yang kembali menemukan gairah hidup. Seseorang yang kembali menemukan cinta dan kembali masuk ke lorong-lorong eksistensial yang mesti dituntaskan. Menjadi penyair lagi dapat dikatakan lari dari rutinitas, robotisasi, mekanisasi ke dunia yang gemuruh penuh gejolak dan adrenalin. Puber kedua.

Menjadi penyair lagi dapat dikatakan sebagai pertobatan. Menjadi penyair lagi dapat dikatakan sebagai kembali mendedikasikan diri untuk dunia berkesenian. Saya bayangkan, dalam makna yang nyata bahwa dia yang telah pernah berhenti menjadi penyair adalah orang yang lelah dengan kehidupan sebagai seniman dengan kadar ekonomi pas-pasan. Mencari tempat dan coba-coba menuju zona kemapanan, tetapi tidak merasakan kenyamanan. Dan kembali hidup dalam dunia seni, ini banyak terjadi.

Menjadi penyair lagi adalah sebuah kebangkitan. Di titik yang mana kita berdiri, yang jelas “dengan menjadi penyair lagi” anda kembali menjadi diri kita sendiri.

Dan anda tentu tahu beberapa saat lalu Sri Sultan HB X menulis buku yang berjudul, “Merajut kembali keIndonesiaan kita” juga pak Amien Rais baru-baru ini juga menulis “Menyelamatkan Indonesia”. Anda bersedia ikut ambil bagian untuk menjadi penyair lagi?

Menjadi Blogger Lagi
Demikian juga dengan menulis blog. Menulis blog itu memerlukan energi dan biaya, juga pengorbanan. Ada banyak pertanyaan tentang blogger dan blog, apa manfaatnya? Apa tujuannya? Dan ada juga yang merasa minder dengan “tulisan sampahnya”.
Di suatu titik mungkin seseorang sebagai blogger menjadi jenuh dan letih. Di titik ini kebimbangan datang, ada yang memutuskan untuk berhenti.
Tetapi, di lain pihak ada yang kembali merindukan dunia blogger itu. Benci tapi rindu, dicintai sekaligus dimaki… Dan sebagian karena tak mampu menahan gejolak hati -mungkin telah merasakan bahwa menjadi blogger seperti juga menjadi penyair adalah bagian hidupnya, apapun resikonya- maka jadilah ia blogger lagi setelah pernah bimbang tentang kebloggerannya.
Semoga tulisan-tulisan blogger Indonesia semakin baik, semakin cerdas dan menjadi problem solver bagi permasalahan kebangsaan.

Mungkin saja, para blogger bisa menyumbangkan sesuatu yang sangat berharga bagi kebangkitan nasional, siapa tahu?