(1)
Pagi ini, prenjak, dan serombongan anak pipit mengabarkan tamu yang akan datang dari hati yang jernih ''Ia berpakaian putih, wajahnya salih.
Di tangannya tergantung tasbih. Ia mengusap hati yang pedih.''
Dan kita segera sembunyikan airmata Bekas duka yang lengket, setelah hari-hari buta oleh asap pekat Kita rindukan hujan yang sembunyi di balik awan ''Datanglah lebih cepat. Ruang tamu telah siap.
Seribu hari yang lalu doa telah ditebar. Mengharap kedatanganmu.''
Lalu, seperti yang tampak sekarang, langit bersih bagai sutera biru muda. Apakah hukuman telah reda?
(2)
Dan sepasang kedasih, membuat garis pada kesunyian hari Pekikan lagunya bagai saksofon yang ditiup oleh bibir maut ''Siapa lagi, kawan? Siapa lagi yang dipanggil menghadap-Nya?''
Kita ingin meronta. Menghindar dari nasib. Dan memulai sesuatu yang baru dengan wajah yang lain. Tapi, bukankah Mata-Nya tak pernah sanggup ditipu?
Sepasang kedasih itu terbang ke utara Ia sebut nama-nama yang akrab di telinga. Karena terlalu sering dihujat oleh media-massa. Karena mereka mencuri sebagian besar milik kita Tapi, sayup terdengar penolakan-Nya Ia, di rumah yang Suci, tampaknya tak ingin lantainya ternoda
(3)
Yang dinyanyikan kenari adalah semua lagu kanak-kanak Ia meminjam masa lalu, diputar lagi, agar kita tersenyum Ketika langkah kecil banyak menulis jejak di kebun, dan embun terpercik menjadi noktah sejarah. Kenari mencatat semuanya Ya, bermainlah disini: di teras yang basah Sisa hujan meninggalkan gambar bunga, menghias konfigurasi batu Pohonan yang berparas cantik memberikan rantingnya Seraya menuai pahala, pagi demi pagi
(4)
Dengarlah: di antara debur ombak, jerit camar memeriahkan senja Mereka bersatu dengan langit lembayung, meminta matahari segera berbaring. Setelah itu: ditaburnya serbuk garam ke atas lautan Agar biru warna airnya.
Mereka mengendarai angin, memainkan musik dengan partitur taifun, dengan komposisi el-nino, dengan perkusi tsunami Gelombang samudara menari-nari di sekitar pantai Mengharap-harap mekar sang rembulan
(5)
Di penghujung malam yang matang oleh keheningan Tinggal sepasang mata burung hantu, sang penjaga setia Tak tergoda oleh kesibukan kelelawar yang menghisap sari buah Ia bagai raja tenung, belajar tanpa kenal waktu Dibacanya gelagat alam. Karena ia tahu:
Perburuan ini tak selesai sampai ajal menghampiri Ia mengerti, siapa beo si peniru yang piawai Ia juga paham, mengapa permati menjadi lambang keabadian sejoli Yang ia tak tahu: mengapa dirinya senantiasa terpahat sebagai relief malam
Jakarta, 12 Desember 1997
Puisi Oleh: Kurnia Effendi