Dia datang, bak Rembulan yang tak pernah terlihat di langit, baik dalam jaga maupun dalam mimpi,
Bermahkota api abadi yang tak pernah mati.
Lihatlah, Wahai Paduka, dari cawan anggur cinta-Mu, jiwaku berenang
Meninggalkan kerangka raga lempungku.
Kala pertama Pemberi buah anggur tiba, hatiku nan tengah kesepian menjadi mendapat mitra,
Anggur membakar dadaku dan seluruh pembuluhku kian sarat dengan darah;
Namun ketika citra-Nya memikat seluruh pandanganku, suara pun merendah:
”Sungguh indah, O Anggur nan perkasa dan Piala nan tiada tara!”
Tangan kuat cinta merenggut dari atas hingga ke dasar tempat yang diselubungi kegelapan
Yang celah-celahnya enggan meraih sinar keemasan.
Hatiku, jika lautan Cinta tiba-tiba memasuki pandangannya,
Melompatlah segera ke dalam, serta ”Temukan aku sekarang juga!”
Sebab, bila matahari bergerak, awan pun mengikutinya dari belakang,
Semua hati menyertaimu, O Matahari Tabriz!
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, S P, VII