Kemarin seorang yang suka berdebat mengajukan kepadaku sebuah pertanyaan.
Dia mengatakan, ”Nabi bersabda bahwa puas dengan kekafiran adalah sebuah perbuatan kufur; dan kata-katanya, bagai sebuah materai, begitu meyakinkan.
Namun dia menyatakan juga bahwa orang Muslim harus puas dengan setiap Takdir Tuhan.
Kini, bukankah kekafiran dan kemunafikan itu merupakan Takdir Tuhan? Jika aku puas dengan kekafiran, aku akan menjadi pengingkar Tuhan.
Dan jika aku tidak puas, itu berarti aku akan menjadi orang jahat: bagaimana aku dapat melepaskan diri dari dilema ini?
Saya menjawab, ”Kekafiran adalah suatu yang ditakdirkan: bukan Takdir itu sendiri, melainkan akibat dari Takdir.
Saya menyetujui kekafiran dalam hubungannya sebagai suatu Takdir Tuhan, bukan seagai sikap pemberontakan dan kejahatan kita.
Dalam hal Takdir, kekafiran bukanlah kekafiran. Jangan mengatakan Tuhan itu ”kafir”, itu salah!
Kekafiran adalah kebodohan, dan Takdir kekafiran adalah hikmah: bagaimana, menganggap, hilm (kemurahan hati) dan khilm (kemurkaan) dapat disamakan?
Keburukan dalam tulisan bukanlah keburukan penulisnya; sebaliknya, itulah keburukan yang diperlihatkan olehnya.
Kemampuan seniman dipertunjukkan oleh kecakapannya untuk membuat keburukan maupun keindahan.
Apabila kuperpanjang topik ini, maka pertanyaan dan jawabannya akan menjadi panjang sekali,
Kenikmatan rahasia Cinta akan hilang dariku, keindahan bentuk Kesalehan akan ternodai.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1362