Baik Musa maupun Fir’aun adalah Pemuja Yang Maha Benar, sekalipun tampaknya yang pertama menemukan jalan dan yang lainnya kehilangan.
Di siang hari Musa berseru kepada Tuhan: di tengah malam Fir’aun mulai merintih.
Katanya, “O Tuhan, belenggu apakah yang ada di leherku ini? Seandainya tak ada belenggu, siapa yang akan berkata ‘aku adalah aku’?
Dengan takdir itu Engaku membuat Musa bercahaya dengan takdir yang sama Engkau membuat aku gelap.
Kami berdua adalah sesama hamba yang mengabdi kepada-Mu; namun kapak-Mu membelah cabang-cabang lunak di dalam rimba-Mu.
Cabang-cabang tak berdaya terhadap kapak; yang satu benar-benar tercangkok kuat, lainnya dibiarkan tak terawat.
Aku memohon kepada-Mu, dengan kekuatan kapak-Mu, untuk melimpahkan rahmat dan meluruskan kebengkokanku.”
Sekali lagi Fir’aun berkata kepada dirinya sendiri dalam keheranan, “Bukankah aku beribadah sepanjang malam?
Dalam hatiku aku ini bagai orang yang rendah hati dan patuh: Bagaimana aku tampak begitu berubah ketika bertemu Musa?
Apabila ketidakberwarnaan menjadi tawanan warna, Musa menjadi musuh bagi Musa.
Apabila engkau mencapai ketidakberwarnaan dari mana engkau berasal, Muda dan Fir’aun menjadi damai di tempat yang sama.
Jika engkau memintaku untuk menjelaskan rahasia ini, aku akan menjawab bahwa dunia yang berwarna tak dapat lepas dari adanya pertentangan.
Adalah keajaiban bahwa yang berwarna keluar dari yang-tak-berwarna: Bagaimana yang berwarna muncul untuk berperang melawan yang-tak-berwarna?
Ataukah itu bukan peperangan yang sesungguhnya? Apakah demi tujuan Ilahi – suatu kecerdikan seperti perselisihan pedagang keledai?
Ataukah bukan ini dan bukan itu? Apakah hanya kebingungan semata? Harta karun harus dicari, dan kebingungan adalah reruntuhan yang didalamnya terkubur harta itu.
Apa yang engkau bayangkan menjadi harta karun – konsepsi seperti itu menyebabkan engkau kehilangan harta karun yang sebenarnya.
Khayalan-khayalan dan opini-opini itu laksana masa perkembangan: harta karun tak ditemukan pada tempat-tempat perkembangan.
Pada masa perkembangan terdapat keberadaan dan sifat-sifat yang berlawanan: Ketiadaan menolak setiap sesuatu yang ada.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 2447