09/10/2010

BUNG KARNO DAN DURIAN

Waktu: Antara 1957-1960.
Tempat: Restoran “LAYAR TERKEMBANG” Cilincing.
Yang hadir: Bapak;rombongan; Megawati; aku (Guntur Soekarno).
_______________________________________________

Sebagaimana biasanya bila aku dan adikku Mega liburan sekolah Bapak selalu mengajak kita keliling-keliling kota Jakarta untuk relax di malam hari secara incognito. Kesempatan yang begitu itu sekaligus oleh Bapak digunakan untuk menginspeksi pelosok kota Jakarta dan untuk melihat dari dekat keadaan hidup rakyat banyak.
Waktu keliling-keliling naik mobil Bapak kadang-kadang mengajak berhenti di lokasi-lokasi tertentu yang menarik perhatiannya, seperti misalnya: Glodok; Kebayoran Lama; Condet; Grogol; Senen plus daerah hitamnya yaitu Planet; Cilincing dan lain sebagainya.
Pada suatu kesempatan keliling-keliling kota Bapak mengajak untuk mampir di Restoran tepi laut “Layar Terkembang” dekat Cilincing untuk makan-makan sate Madura. Sambil menunggu pak sate membakar sate ayamnya maka Bapak berkeliling-keliling halaman restoran tadi dan secara kebetulan bertemu dengan seorang abang-abang penjaja durian yang kebetulan berada di situ 9aku tidak tahu dari mana ia datang).
- Eh, jang eta kadu sabaraha harganya? (Eh, jang itu duren berapa harganya?).
v Eh... Eh...
- sabaraha jang???
v Ehm... apaan yaah??
- Haah... kau bisa bahasa Sunda??
v nnd... daak... pak...
- Ah, dari mana kau punya asal?
v Di sini-sini sajjaah!
- Ooooh... Bapak kira kau dari Priangan... Durennya harganya satu berapa?
v Aaaaaahhhhh... harganya sih... berapa ajjjaaah dah Pak!
- Lhoooo... yang bennneeerr...!!! harganya berapa satu???

Setelah harganya cocok Bapak kemudian mulai memilih durian-durian tadi satu per satu.
- Heeh tok... sini! Perhatikan caranya Bapak memilih duren yang bagus!
+ Wah Pak kalau soal milih saja kan gampang... cium aja mana yang paling harum... pasti itu yang paling manis.
- Huh... Bodooooog kau!!! (Bodog = bodoh).
Begini caranya... perhatikan Bapak...
+ Yaa dehh...
- Mula-mula harus kau lihat lebih dahulu tangkainya kalau kering segar dan bentuknya ujungnya halus noplok... nah itu satu pertanda bahwa duren itu jatuhan... sudah itu perhatikan duri-durinya... kalau ujung-ujungnya runcing dan bentuk kerucutnya padat berarti durennya tua dan mateng. Yang penghabisan cium baunya... tapi inget harus dari sebelah pantatnya! Jangan dari samping atau di tangkainya. Kalau baunya sengak segar dan ndak sengak bau busuk atau bau karbit itu tandanya duren tua di pohon.
Jadi Bapak ulangi...
Satu!... periksa tangkainya.
Dua!... lihat durinya.
Tiga!... cium baunya dari sebelah pantat.
Kalau ketiga-tiganya baik itu tandanya durennya jempolan!! Nanti kau bisa buktikan setelah duren-duren ini Bapak pilih terlebih dahulu.
+ Mau sekalian dimakan di sini juga Pak??
- Ndak! Nanti saja di rumah... lebih afdol!!

Setelah kembali ke Istana bapak segera memanggil pak Tamin dan memerintahkan agar duren-durennya yang sudah dipilih oleh Bapak berdasarkan teorinya tadi dibelah.
.....................
+ Yaaaa... Pak! Kok durennya bosoookkk!!
- Min! Coba nu eta! (Coba yang itu!)
.....................
+ Yeeeiii... anyep Pak!
- Waaah??? ... Mosok iyo?!? (masa iya?!?) Buka kabeh Min! (Buka semua Min!).
......................
+ Duiiiilllllaaaahhhh...!!! Gimana sih Bapak milihnya?? ... Kok butut semuanya durennya??
Uuuuhhh... teori Bapak nggak laku kalau gitu!!
- Ndak tahulah!
Sekali ini Bapak meleset pilih duren!
... Uuh... Ini duren barangkali jenis baru...
+ emangnya jenis apa Pak??
- Jenis duren... Kontra Revolusi!!!
+ Haah?!?!?!?!...