09/10/2010

BUNG KARNO KONTRA C.I.A

Waktu: 1963-1964.
Tempat: Ruang duduk di depan kamar bapak.
Yang hadir: Bung Karno; Megawati; Bu Hadiatmodjo; Aku (Guntur Soekarno).
____________________________________________

Pada suatu hari libur ulangan umum SMA-nya, adikku Adis (nama panggilan keluarga untuk Megawati) pergi berlibur ke tempatku di bandung bersama adik-adik yang lain kecuali Guruh. Sebagaimana biasanya kalau mereka datang kepadaku di Bandung maka mereka selalu melaporkan kejadian-kejadian dan perkembangan keadaan situasi umum di Istana terutama sekali mengenai perkembangan hubungan bapak dengan para “Hindul-hindul markindulnya” (Hindul-hindul markindul = istilah yang adik-adik berikan kepada istri-istri Bapak yang lain).
Perlu diketahui antara bapak dan aku terdapat semacam gentleman agreement yang pokok isinya antara lain bahwa aku berhak untuk tidak mengenal dan mengakui Hindul-hindulnya bapak dan boleh melarang adik-adikku untuk berhubungan dengan mereka. Di samping itu Bapak berjanji tidak akan mengizinkan para Hindul-hindul tadi masuk kawasan Istana Merdeka demi menjaga perasaan Ibuku dan adik-adikku. Sebagai imbalan aku harus menghargai dan mengakui hak-hak bapak sebagai seorang muslim untuk menikah lebih dari satu.
Walaupun begitu aku diberi kebebasan sepenuhnya oleh Bapak untuk tidak menyetujui adanya pernikahan-pernikahan tadi dan berhak secara terbuka untuk menentang. Pokoknya aku sebagai anak sulung berhak secara maksimal membela kepentingan-kepentingan dan kehormatan-kehormatan ibuku dan adik-adikku akan tetapi di lain pihak harus sepenuhnya menghormati sepenuhnya hak-hak Bapak.
Memang dalam soal tadi bapak bertindak sangat blak-blakan, demokratis, dan yang paling membuatku senang bahkan bangga adalah karena bapak dalam masalah tadi tidak bertindak hipokrit atau plintat-lintut apalagi sembunyi-sembunyi.

Pada suatu sore di rumahku di Bandung...
- Dis, gimana khabar Istana? Aman-aman saja nggak?
+ Sekarang lagi biasa-biasa saja.
- Ada Hindul-hindul yang nyelundup masuk nggak?
+ Kayaknya sih nggak; pada ngeri kali... gara-gara Mas labrak si Deweh. (Deweh maksudnya Dewi).
- Bapak masih ngambek nggak ama gue?
+ Tahu deh... kalinya sih enggak... buktinya Mas dikirimi duit.
- Uuh... dikirim sih dikirim... tapinya buat ngebakso juga nggak cukup!
Eh... Eh bu Hadi bapak masih marah ya sama Saya? (bu Hadi = bu Hadiatmodjo pengasuh adikku Rachma).
v Ah... ndak Mas... masa marahnya terus-terusan, bapak kan biasa marah-marah tapi habis itu kan ya sudah...
+ Eh, Gun tapinya ya, aku sekarang ini di Istana agak curiga sama satu orang deh.
- Curiga ama siapa?
+ Enggak... soalnya gini... kira-kira sekarang ini kalau latihan nari di Istana ada mahasiswa Amerikanya yang ikut latihan.
- Lho... emangnya kena apa kalau ada yang ikut latihan...
+ Iya... nggak apa-apa... tapi ini mahasiswanya cewe! Lagian cakep! Dia itu katanya mau mempelajari kesenian daerah Indonesia terus minta izin sama bapak apa boleh belajar tari-tarian Jawa sama-sama kita... sama Bapak dikasih izin jadi sekarang dianya latihan nari sama-sama kita. Aku takut, jangan-jangan bapak naksir, nantinya kan Hindul-hindul markindul jadi nambah?
- Aaahhh... kamu nih pikirannya jelek aja! Nanti deh kalau gue ke jakarta gue selidiki...
Ngomong-ngomong cakepnya seberapa sih Dis? Cakep mana sama Dewi?
+ Oooh... dianya typenya lain, bukan type Timur tapi pokoknya cakep deh... Ampun! Mirip Suzanne Pleshete, tapi rambutnya panjang, apalagi kalau pakai kebaya jawa... waduh luwes sekali!
v Iiyaa Mas... bu Hadi tu kok ya gimana ya... lah kok ada putri Amerika kalau busananya kebaya... waaahh... sudah toh... gandes luwes! Putri Solo asli kalah pokoknya...
- Masa sih bu Hadi?!?!
v Betul Mas! Mari to dipriksani ke jakarta.
- Bapak sama dianya kira-kiranya gimana? Lirik-lirik nggak?!
v Kalau soal itu Bu Hadi ya kurang periksa mas...
+ Kalau nurut aku sih... Bapak ya agak lirik-lirik juga deh... terus si bulenya- juga gitu...
- Aaahhh... tahu lah... emang susah sih punya Bapak ngganteng... cewe pada ijo matanya!
+ Kalau situ sebaliknya... mata situ yang ijo kalau lihat cewe!
- Brengsek lu! Emangnya gue Buto Terong matanya ijo!!!

Karena laporan adikku tadi maka pada kesempatan libur kuliah akupun pulang ke Jakarta untuk menyelidiki kebenaran laporan tadi. Ternyata memang ketika adik-adikku latihan menari, di samping adanya beberapa murit domestic (dalam negeri) terdapat juga seorang cewe Amerikanya. Kelihatannya dia berlatih dengan serius sekali bahkan melebihi keseriusan adik-adikku.
Lebih hebat lagi ia tampak berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti adat-istiadat dan tatacara Jawa misal saja dalam hal pakaian latihan menari. Kalau adik-adikku hanya memakai rok atau Jeans sebagaimana biasanya, ia selalu mengenakan kain dan kebaya dengan rambut digelung sederhana. Juga bila ia harus berjalan melewati seseorang yang lebih tua usianya maka ia selalu membungkukkan dirinya sebagaimana biasanya gadis-gadis Jawa melakukannya yang hal tadi tidak pernah kita temui pada gadis-gadis barat. Dalam soal meladeni orang tua jangan tanya... luwes dan telaten sekali! Kalau Bapak dan adik-adikku sedang makan bersama, ia tidak langsung turut makan, melainkan mmeladeni dulu Bapak dan adik-adikku baru kemudian ia makan. Terhadap adik-adikku tampak sekali keakrabannya terutama dengan yang kecil-kecil. Pendek kata secara menyeluruh aku bisa rasakan bahwa ia sudah demikian akrab dan terbiasa bergaul dengan semua keluarga Istana mulai dari Bapak; adik-adikku sampai kepala pelayan-pelayan di sana.Logis kalau bapak menjadi sangat tertarik kepadanya dan menyayanginya.
Bagiku yang amat menarik adalah kecantikannya! Bayangkan saja... seorang wanita barat usia sekitar 19-22 tahun, kulit kuning mulus; hidung mancung; mata biru semu hitam; rambut hitam kecoklat-coklatan pekat; bibir merekah merah jambu; dada montok berisi; pinggang laksana pinggang semut; pinggul berkembang subur; paha dan betis seperti punyanya Ken Dedes! Dengan tingginya yang semampai 1,70 hanya satu kata yang bisa kita lontarkan mengenai kecantikannya yaitu... perfect! Apalagi bila berkebaya Jawa... busyeet... putri Solo nggak “nyempil” kata orang jakarta.

Sambil nonton ia berlatih tari akupun mulai meng”interogasi” Bapak mengenai soal bidadari kulit putih yang itu tadi...
- Pak... itu cewe Amerika siapa sih?
* Mahasiswi sana yang mau memperdalam kesenian Indonesia di sini... Dia itu keluarganya memang sejak dulu sudah mencintai Indonesia... jauh sebelum kita merdeka... Waktu kita memperjoangkan kemerdekaan, seluruh keluarganya di Amerika bersimpati pada perjoangan kita dan membantu usaha-usaha propaganda kita di sana...
- Ooohh...
* Nah... Setelah kita merdeka maka anaknya yang sudah menjadi mahasiswi dikirim kemari untuk memperdalam pengetahuannya tentang indonesia... terutama soal-soal yang berhubungan dengan kesenian.
- Ooooohhh...
* Bapak terus terang tertarik kepadanya terutama sekali oleh karena jiwa keindonesiaannya itu. Jarang orang Barat yang bisa mencintai negeri lain seperti dia itu mencintai Indonesia... bapak sampai-sampai heran kepadanya... dia itu cepat sekali menyesuaikan diri dengan adat istiadat kita, dan pengetahuannya tentang kesenian Indonesia waduuh... bukan main! Bapak hampir-hampir kalah....
- Ooooohhhh...
* Kau tahu Tok, dia itu sekarang dengan adik-adikmu sudah seperti saudara sekandung akrabnya... Dia sudah menganggap adik-adikmu seperti adiknya sendiri dan adik-adikmu rupanya juga senang padanya. Agar mereka lebih akrab aku pikir sebaiknya dia kusuruh tinggal saja di sini sebagai... yah... katakanlah... kakak angkat adik-adikmu... kau setuju ndak??
- Ooooooohhhh... eh... gimana Pak?!!!
* Yaa, ... kau setuju tidak kalau dia Bapak suruh tinggal di Istana bersama-sama adik-adikmu?
- Och... och... och... ya... gimana... ya... Pak... ya?!?! (dalam hati: mammpuuuuussss guaaa!!... bakal ada Hindul-markindul baru nih!!).
* kalau adik-adikmu setuju saja asal kau juga setuju... Bapak sudah tanya pada mereka... gimana Tok?
- A... a... ak... aku... mmm... min... minta waktu buat mikir.
* Berapa lama? ... Jangan terlalu lama!
- Satu bulan deh Pak!
* Ya... pikirlah...

Setelah satu bulan berlalu aku sengaja tidak memberikan jawaban kepada bapak karena aku ingin menunggu sampai Bapak menanyakan kembali hal tadi kepadaku. Ternyata sampai 3 bulan kemudian bapak tetap tinggal diam. Hal ini tentu saja membuat aku curiga dan ingin tahu sehingga begitu ada kesempatan libur kuliah aku langsung ngebut ke Jakarta untuk mencek situasi dan sebab-sebabnya bapak tidak meminta jawabanku...

Pada suatu pagi waktu Bapak sedang duduk-duduk di ruang tamu di depan kamar tidurnya...
- Pak... Pak...
* Hoo... kau... Kapan datang?
- Udah 3 hari.
* Ke mana saja selama ini?
- Ah, di sini-sini saja...
Pak, kemarin waktu adik-adik latihan nari aku kok nggak lihat cewe Amerika yang dulu itu ya? Itu lho... cewe yang Bapak suruh tinggal di sini...
* Heeeeh... kau belum tahu?!?
- Belum tahu apa Pak?
* Belum dengar tentang dia??
- Beluuuummm???
* Dia Bapak usir dari Indonesia!!
- Haaaah?!?!?!... kenapa Pak??? (dalam hati: syukur Gusti! Nggak jadi ada Hindul-hindul markindul baru!).
* Waaaaahhh... ampir-ampir saja Revolusi Indonesia kebobolan!
- Kebobolan gimana Pak?
Dengan muka yang angker kemudian Bapak menggeser duduknya mendekati aku dan berkata dengan nada gemas...
* Kau tahu, ternyata dia adalah anggauta C.I.A.!!
- Haaaahhhh?!?!... Anggauta C.I.A. ...??? ... Central...
* Iiiyyyaaaaa!!! ... Central Intelligence Agencynya Amerika...
- Haaahhhh?!?!?!?... Central Intelligence Agencynya Amerika...
Duilah... bahaya kan kalau gitu! Apa sebelumnya ke sini, maksud aku sebelum kenal baik dengan kita-kita di sini itu apa Bapak nggak adakan cheking dulu?
* Sudahhhh... dan semua laporan Intelijen mengenai dia itu bersih...
- Intel Tjakra gimana? (Tjakra = Resimen Tjakra Birawa, Resimen khusus pengawal Kepala Negara R.I. waktu itu).
* ...Sami mawon... bobol!
- Abis gitu tahunya dia C.I.A dari siapa??
* Untung pak Ayub kasih warning kepada Bapak dan beritahu soal keanggautaan dia di C.I.A.!! (warning = peringatan).
- Pak Ayub siapa Pak??
* Ayub Khan... Presiden pakistan!!
- OOOOhhhh... Pak Ayub Khan tahunya dari mana ya?
* Barangkali nyolong dari data Intelnya CENTO. Bayangkan kalau Pak Ayub tidak beritahu Bapak, barangkali sekarang Bapak sudah tidur liyer-liyer di keleknya CIA!! (kelek = ketiak).
- Apek dong Pak baunya... tidur di kelek.
* ...aah... belum tentu juga... kalau secantik yang Bapak usir, Bapak rasa keleknya... ndak apek, barangkali harum!!
- Huh... huh... huh... bapak Bisa aja!!


CATATAN
Ternyata selain Presiden Ayub Khan dari Pakistan, fihak lain yang memberitahu juga adalah Lord Bertrand Russel yaitu seorang ahli Filsafat dan pejoang perdamaian kenamaan dari Inggris. Bahkan Lord Russel menurut Megawati adikku yang melihat suratnya menyampaikan juga kepada Bapak daftar 7 sampai 8 kepala Negara Non Blok yang termasuk “black-list”-nya C.I.A.