Waktu: 1957.
Tempat: Yayasan Perguruan Cikini Jl. Cikini raya 76 jakarta.
Yang hadir: Bung Karno, May. Sudarto; A.I.P. Sudijo; Agenpol. Ngatijono; Big. Muda Pol. Sumardi; pak Saroi dan lain sebagainya.
____________________________________________
Waktu yayasan Perguruan Cikini tempat di mana aku bersekolah mengadakan perayaan hari ulang tahunnya (lupa yang ke berapa) maka yang menjadi salah satu acaranya adalah mengadakan suatu bazaar di komplex sekolahan JL. Cikini Raya 76. Untuk memeriahkan bazaar tersebut maka oleh pengurus yayasan seluruh orang tua murid diundang untuk menghadirinya termasuk Bapakku yang waktu itu masih jadi Presiden-nya Republik tercinta ini.
Pada suatu hari di Istana Merdeka Jakarta...
- Pak, Bapak jadi datang ke bazaar di sekolahku nggak?
+ Yo... insya Allah. Apa acaranya di sana?
- Ah... apa ya... paling-paling pameran; perlombaan... terus permainan ketangkasan... pokoknya gitu-gitu deh...
+ Kau punya lukisan ikut dipamerkan ndak...?
- He-eh... jadi. (sekarang hobbyku memotret, waktu itu hobbyku melukis).
Waktu pergi ke bazaar, Bapak mengendarai mobil keperesidenan Chrysler Crown Imperial; Indonesia I; hadiah dari Raja Saudi Arabia; Ibnu Saud, dengan diiringi konvoi kepresidenan yang terdiri dari sepeda motor polisi lalu lintas; Jeep pengawal dari Corps Polisi Militer, Jeep pengawal dari Detasemen Kawal Pribadi Presiden dan mobil-mobil rombongan lainnya.
Setelah berkenalan dengan pengurus Yayasan Perguruan Cikini bapak langsung melihat-lihat stand di bazaar satu per satu dengan penuh minat. Aku yang kurang tertarik pada urusan pamer-memamer hasil-hasil kerajinan tangan; hasil-hasil jahitan; hasil masakan dan lain sebagainya langsung ngacir mencari stand-stand yang berisi permainan-permainan ketangkasan seperti tembak-tembakan; lempar-lempar bola; lempar-lempar gelang; panahan dan lain-lain. Saking getol-getolnya aku berpindah-pindah dari stand ketangkasan yang satu ke yang lainnya dan juga karena massa pengunjung yang mbludak luar biasa maka Kak Ngatijono yaitu kakak pengawal yang bertugas mengawalku saat itu benar-benar jadi kewalahan dalam mendampingiku, sehingga suatu saat iapun kehilangan aku. Aku berkeliling-keliling stand lebih 2 jam lamanya dan setelah puas dengan segala macam permainan ketangkasan akupun pergi ke tingkat dua gedung sekolahanku untuk mencari minuman karena di situlah tempat segala macam minuman-minuman dijual kepada umum. Dari atas aku sempat melihat rombongan Bapak yang sedang bersiap-siap untuk pulang karena sudah selesai melihat bazaar antara lain kulihat para ajudan dan pengawal yang sedang sibuk mempersiapkan Formasi kendaraan Presiden. Ketika aku sedang menghirup sebotol limun kudengar derum suara motor dari pengawal Bapak, tapi tak lama kemudian tiba-tiba kudengar ledakan yang cukup dahsyat...
Bledeeeeeeeerrrrr!!!
Sekilas aku berfikir , akh ini tentunya suara knalpot motor dari kakak-kakak polisi lalu-lintas yang meledak karena memang bisanya demikian; kalau mau start mesti “batuk-batuk” dulu... maklum waktu itu motor-motor yang digunakan adalah Harley davidson model “tuek”! Tapi beberapa detik kemudian ...Bledeeeerrr!! ... Bleeddeeerrr!! Terdengar 3-4 kali ledakan lagi; yang disusul oleh jeritan-jeritan histeris dari umum... ya orang-orang tua; anak-anak; ibu-ibu dan lain sebagainya. Saat itu aku sadar bahwa ledakan tadi pasti bukan ledakan knalpot motor tapi pasti ledakan suatu bahan peledak yang aku belum tahu jenisnya. Kemudian suasana benar-benar jadi panik dan semrawut sungsang-sumbel; di tingkat dua semua orang berusaha turun ke bawah untuk mencari perlindungan sedangkan yang di bawah sebagian berusaha ke atas untuk maksud yang sama sehingga di tangga naik dan tangga turun arus massa tadi bertumbuk kacau-balau diselingi teriakan-teriakan histeris yang menyayat hati. Belum lagi keadaan di koridor (gang) sebelah atas yang kebanyakan di situ berkumpul anak-anak sekolah rakyat yang masih kecil-kecil; wuah... mereka benar-benar panik dibuatnya...
Ada yang ngompol; ada yang menangis; ada yang lari kesana-kemari tak tentu yang dituju dan yang paling “ngenes” kita melihatnya adalah mereka-mereka yang terhimpit dan terinjak-injak oleh arus massa tadi, walaupun mereka mengerang-ngerang kesakitan tak ada yang perduli karena semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Melihat situasi macam itu aku terus terang sesaat menjadi panik tidak tahu harus berbuat apa kecuali termangu-mangu. Baru setelah aku dapat menguasai lagi rasa takutku dan emosi baru aku bisa berfikir tentang tempat berlindung. Cepat-cepat aku melompat masuk di antara sela-sela tumpukan peti botol limun di kolong meja. Melihat aku bersembunyi di sana beberapa temanku mengikuti dan bertiarap di sela-sela peti yang masih mungkin mereka tempati. Di situ aku bersembunyi lebih kurang setengah jam dan setelah situasi agak mereda, di dalam ruangan kulihat Kak Sumardi (agak lupa) yang pasti mencari-cari aku. (kak Sumardi adalah seorang pengawal dari Detasemen Kawal Pribadi Presiden).
- Kak... saya di sini!!
v Aduuh!..... Kakak cari ke-mana2 jebulnya disini...
Ayo mas... cepat pulang! ....cepat pulang!
- Emangnya sudah aman kak???
v sementara sudah mas... mari!!
Sambil berjalan turun dari tingkat atas gedung ke bawah untuk pulang...
- Kak... Kak Ngatijo di mana?? Tadi ledakan apa sih kak??
v Wah... mas kita belum tahu di mana dia... yang meledak granat, Mas!
- Bapak dimana, Kak??
v Belum tahu juga Mas! Tugas kakak menyelamatkan mas dahulu ke rumah.
Begitu aku sampai di bawah dan berbelok ke kanan menuju koridor ke arah depan gedung aku benar-benar bergidik melihat situasi di situ. Di sana sini berceceran darah yang berhamburan di lantai gedung. Di setiap ruangan menggeletak para korban-korban yang sedang mendapatkan pertolongan pertama dari petugas-petugas kesehatan. Benar-benar ngeri melihatnya, apalagi mendengar rintihan-rintihan dan teriakan-teriakan kesakitan dari mereka. Yang paling mengerikan adalah di ruangan depan dari gedung dekat jalan keluar ke halaman... betul-betul seperti keadaan lembah mophilae setelah selesai perang di zaman Athena; di mana-mana kulihat darah yang mulai mengental menggenang di seluruh ruangan... termasuk semburan-semburan darah yang menempel pada tembok-tembok plus menggeletaknya para korban yang belum sempat diangkut. Aku tidak tahu pasti apakah korban tadi masih hidup atau sudah tak bernyawa, pokoknya di situ mereka berjejer-jejer seperti ikan sardencis. Di depan gedung kulihat sebagian dari kakak-kakak pengawal pribadi dan CPM berjaga-jaga dalam keadaan siap tempur, dari situ aku “diseret” secepat kilat oleh Kak Sumardi dengan perlindungan 4 orang yang lainnya ke mobilku B-5353 yang diparkir di NV Melant sebelah gedung sekolah.
* Ya Allaaaaahh... ya... gusti alhamdulillah ane selamat!! Hayo buruan masuk mobil, mobil kita berangkat deh!!
- Eh, Pak Roi nggak apa-apa??
* Alhamdulillah Mas! Gatotkaca mah nggak mempan pelor!!
Dengan pengawalan ketat aku berangkat dengan B-5353 yang dikemudikan pengemudi maut istana yaitu pak Saroi menuju istana Merdeka. Route yang dilalui aku tidak tahu karena kita tidak lewat jalan yang lazim aku lalui tetapi melalui suatu Route keselamatan yang memang sudah dipersiapkan oleh Detasemen kawal Pribadi bila menghadapi hal-hal gawat semacam ini...
v Mas, lebih baik mas tiduran saja ya di belakang... supaya lebih aman.
* Iye mas... ane tiarap aja dah; nggak usah liat jalanan... biar pak Roi keber ini mobil... biar larinya kaya’ setaaaaannn!!!
Sambil tiduran di belakang aku dapat merasakan goncangan-goncangan mobil yang sedang dikebut oleh pak Roi ke jurusan Istana Merdeka, betul-betul seperti setan pak Roi mengemudikan mobilnya sekali ini... (mungkin lebih dari 100km/jam!!).
Sesampainya di Istana aku lihat kakak-kakak DKP & CPM sedang sibuk mempersiapkan penambahan-penambahan penjagaan di sekeliling Istana bahkan beberapa senjata berat seperti: mortir-mortir kecil (Teki-danto); Bar Bren; senapan mesin browning kaliber 12,7 juga sudah mulai dikeluarkan dari kandangnya. Begitu turun dari mobil aku cepat ngibrit ke kamar Bapak karena ingin tahu keadaan Bapak pada saat itu, ternyata Bapak tidak berada di situ. Hal ini membuat hatiku benar-benar cemas dan kecut sekali... Fikiran buruk menghantui otakku... jangan-jangan Bapak tewas kena granat dan aku sekarang jadi anak yatim...
Tak terasa aku sudah mulai mau menangis tapi untung tidak jadi karena aku teringat akan nasehat Bapak terhadapku: “Patriot sejati tidak akan menangis di dalam kesedihan, ia hanya menangis pada saat gembira karena cita-citanya tercapai...” .... Akhirnya dengan hati pasrah kepada maunya Tuhan aku berjalan gontai dari kamar Bapak pergi ke kamarku yang ternyata di situ sudah berjaga beberapa kakak-kakak dari DKP.
- Kak udah ada kabar gimana Bapak??
“ Belum mas... mudah-mudahan Bapak ndak apa-apa; Kita semua berdoa begitu...
- Kak Ngatijono gimana kak?
“ Kak Ngatijono luka-luka berat mas, sekarang di CBZ (RSUP).
Tiba-tiba dari kejauhan seseorang berteriak...
+ ... Saiinnnnnn!!!
...Saiinnnnnn... kadieu!!!
- Lho!? ...itu kan suara Bapak kak!!
“ Sepertinya mas!! ...duh ...alhamdulillah!!
Secepat kilat aku kabur ke kamar bapak yang saking keburu-burunya di tengah jalan bertubrukan dengan pak saiin yang juga mau ke kamar Bapak... dan... bumm!! Pak Saiin yang sudah reyot itu (umurnya kurang lebih 70 tahun-an), terkapar di lantai...
=...euleuh... euleuh... eta... ngik... ngik... bb... budaak...! ...ngik...ngik. (alah-alah... itu anak. Ngik = suara bengeknya).
- Maaaappp...!!!
- P... p... aak! ...gimana pak???!!!??? Nggak apa-apa??!!??
+ Alhamdulillah. Tuhan masih melindungi Bapak. Kau ndak apa-apa??
- Nggak....
+ Syukur... Adis gimana?
- Baik-baik aja... Cuma kak Ngatijono aku dengar kena; luka berat, sekarang masih di CBZ. (aku menjawab sambil ngos-ngosan.
+ Kasihan... tengok dia kapan-kapan... Eh, Saiin... teankeun obat merah buat Bapak).
- Lho... obat merah buat apa Pak, apa Bapak kena??
+ Yo!
- Haah?!?! (aku kaget setengah mati!).
+ Betul!... ini apa!! (sambil menunjukkan lukanya di lengan)... Tapi bukan kena granat...!! kena kawat duri !! ...Ho... Ho... Ho... (terbahak-bahak)
- Oooh... (aku bernafas lega). Kena kawat duri di mana Pak?
+ Waktu mbrobos (menerobos) pagar rumah di depan sekolahmu aku kecantol kawat durinya. Bapak disembunyikan oleh Kak Dijo dan Oding di situ. (PIP. Sudijo dan Brig. Pol. Oding adalah perwira dan bintara senior dari DKP. Mereka berdua inilah yang menyelamatkan Bapak dari berondongan granat oknum-oknum anti UUD 45 dan Panca Sila waktu itu). Wah, kalau ndak ada mereka barangkali Bapak juga sudah kena granat. Untung begitu ada ledakan pertama mereka melindungi Bapak dengan badannya; terus Bapak diseret ke rumah depan tadi dan ngumpet di situ. Di situ baru Bapak tahu Oding ternyata kena granat di pahanya...
- Haahh?!? ...kak Oding kena?!? Sekarang di mana pak??
+ Barangkali ke rumah sakit...
- Parah nggak??
+ Wah, Bapak ndak tahu... mudah-mudahan ndak.
- Di situ-tuh rumahnya siapa Pak?
+ Ndak tahu... penghuninya orang kulit putih.
- Di situ Bapak ngapain aja Pak?? ... Eh... anu... ngumpetnya di mana??...
+ Di balik satu lemari besar; duduk di kursi... Oding nggeletak dekat situ; Dijo berdiri sambil mengawasi depan halaman rumah.
- Terusnya gimana Pak?
+ Lha iya... terus tak berapa lama antaranya datang kak Darto, yang kakinya kena juga. (Kak Darto = Maj. Sudarto ajudan Bapak waktu itu, sekarang sudah jadi jenderal).
- Kak Darto kena juga ya???
+ Iya... kemudian Kak Mangil juga datang... Sementara itu kak Oding Sambat (mengerang) kesakitan karena luka-luka yang merobek pahanya...
- Sambatnya gimana Pak??
- .... aduuh... Yo aku... nggak kuat lagi... nggak... kuat lagi... Yo... (Yo = kak Sudijo).
- Kak Dijo nolong kak Oding nggak Pak?
+ Waaahhh, mana kepikir oleh Dijo. Dia pikirannya hanya satu: bagaimana menyelamatkan Bapak, sampai-sampai waktu Kak Mangil datang ia mau didor oleh Dijo.
- Habis kak Oding gimana dong?
+ Ya begitulah nggeletak saja di lantai, paling-paling Bapak bilang padanya: “Oding kuatkanlah hatimu!” maksudku supaya dia semangatnya tetap tinggi...
- Abis gitu terusnya gimana pak?
+ Nah... kemudian setelah keadaan bisa dikuasai lagi oleh petugas, Bapak kembali ke Istana dengan naik mobil lain karena ternyata Chrysler yang dari Pak Ibnu Saud kena granat dan mogok. Alhamdulillah bapak selamat tidak kurang suatu apa sampai di Istana.
- Waktu kejadian bapak takut nggak??
+ ...kenapa kau tanya itu?
- Abis kayaknya kok Bapak kalem-kalem saja...
+ Lha...! lalu Bapak musti bagaimana? Pokoknya bapak pasrah terserah kehendak Tuhan...
- Uuh, kalau aku tadi rasanya ngeri setengah mati Pak... apalagi lihat darah-darah...
+ Memang... kasihan mereka-mereka yang tak berdosa ikut jadi korban..
Tapi... tidak ada korban yang sia-sia; no sacrifice is wasted...!; no sacrifece is wasted...! begitu sejarah selalu membuktikan!
Hah... sudahlah... hayo Tok, Bapak mau siap-siap untuk menemui para wartawan-wartawan dalam Press Conference...
- Ya deh Pak...
+ ...Oh ... ya.... jangan lupa kapan-kapan kau tengok Kak Ngatijono, sampaikan terima kasih dari Bapak.
- Ya... Pak!...
(Dialog aku lakukan di kamar Bapak, sambil bapak berganti pakaian).