Waktu: 1964-1965
Tempat: Ruang duduk di teras belakang Istana Merdeka dan ruang duduk beranda depan kamar Bapak.
Yang hadir: Bung Karno; beberapa tamu Dubes-dubes asing; beberapa menteri-menteri kabinet (antara lain pak Leimena (?); pak Mualliff nasution Sekretaris Presiden; para Ajudan Senior (Kol. M. Saelan; K.B.P. Sumirat; Kol. Udara Penerbang Kardjono); dan aku (Guntur Soekarno).
____________________________________________
Waktu itu kebetulan aku sedang berada di jakarta dalam rangka pulang mudik dari Bandung tempatku kuliah. Karena malamnya aku tidur malam sekali sehabis membantu kawan-kawan seorganisasi menempel plakat-plakat dan spanduk-spanduk di seputar kota jakarta maka pagi itu aku “mbangkong” (mbangkong = molor) dan terlambat bangun tidurnya. Maklumlah saat itu adalah masa penerimaan mahasiswa-mahasiswa baru di berbagai Universitas dan Perguruan Tinggi, jadi organisasi-organisasi Mahasiswa extra-universitas semua saling berlomba-lomba mempromosikan organisasinya pada calon-calon mahasiswa baru. (Wah ramenya bukan main, kurang lebih seperti masa-masa kampanya pemilu yang lalu; Cuma sedikit lebih “asyikan”).
Aku bangunnya kira-kira jam 09.00 pagi; dan setelah bangun aku tidak langsung mandi tapi duduk-duduk dulu males-malesan di beranda depan kamar tidur Bapak sambil baca-baca majalah; koran-koran; sekaligus minum kopi tubruk bikinan pak Opi yang terkenal di kalangan para tamu-tamu di Istana karena sedapnya. (pak Opi nama panggilan seorang pelayan Istana Merdeka yang bertugas meladeni bapak maka. Nama sebenarnya pak Sarnapi aslinya dari Bogor). Di beranda situ aku duduk baca koran. Kursinya memang sudah setenagah reot dan karena bantalnya pun bantal tua maka kadang-kadang kalau pak Adung kurang teliti membersihkannya bantal tadi ada tumbilnya (kutu busuk!). Walaupun begitu kursi ini sangat disayangi oleh kita semua termasuk Bapak karena kalau kita duduk di atasnya rasanya angler sekali. (angler = nyaman = seedaap!), selain itu bila kita duduk di situ, kita bisa melihat taman yang membentang di belakang Istana Merdeka sebelah kiri plus kolam-kolamnya. Dari situ kita bisa juga melihat ujung tangga naik ke beranda belakang Istana Merdeka, beranda dimana pada pagi hari bapak selalu menerima para tamu-tamu atau menandatangani surat-surat yang penting-penting. Dekat di ujung tangga tadi terdapat serumpun semak pohon ampelas-ampelasan yang bunganya bila sudah kering bisa kita lemparkan ke udara dan terus berputar, seperti Helikopter. Sayang nama latinnya aku kurang tahu. Semak tadi sedemikian rimbunnya, sehingga pandangan kita tidak dapat menembus dalamnya.
Ketika aku sedang asyik menyeruput (menghirup) kopi tubruk dengan nikmatnya tiba-tiba dari ujung tangga kulihat Bapak turun dari beranda dan langsung masuk ke dalam semak tadi. Kemudian tak berapa lamanya Bapak keluar dari dalam semak dan naik tangga pergi ke beranda lagi.
Mula-mula aku tidak ambil pusing dengan perkara itu; aku pikir barangkali Bapak ingin menunjukkan sesuatu mengenai semak tadi pada tamu-tamunya, sebab aku tahu Bapak adalh seorang pecinta tanam-tanaman, dan bila ada hal yang unik pada tanaman peliharaannya selalu dibanggakan dan dipamerkannya pada sahabat-sahabat atau tamu-tamunya. Jadi aku pikir-pikir,ah tentu Bapak ingin kasih unjuk daun-daunan semak tadi yang kasarnya seperti kertas ampelas dan memang bisa untuk mengampelas kayu itu pada tamu-tamunya. Tapi satu jam kemudian bapak masuk kedalam semak-semak tadi. Kemudian keluar lagi. Dalam hati aku mulai berfikir; eh.. eh ngapain nih Bapak mondar mandir kedalam semak??
Karena penasaran akupun pergi ke dalam kamar tidurku untuk mengintip apa yang sedang dikerjakan oleh Bapak di beranda belakang sana. (dari kamar tidurku aku bisa mengintip di antara sela-sela lubang papan yang memanjang di daun pintu kayu karena kamarku bersebelahan dengan beranda tempat Bapak duduk). Waktu kuintip, di beranda terlihat Bapak asyik menanda tangani bertumpuk-tumpuk surat-surat yaitu biasanya surat-surat keputusan Presiden; surat-surat pengangkatan Dubes; surat-surat kenaikan pangkat perwira tinggi; surat-surat pemecatan; dan kadang-kadang surat-surat pribadi kepada kepala negara-negara asing sahabat Bapak, dan di situ hadir juga beberapa dubes asing; beberapa menteri; kalau tidak salah antara lain pak Leimena (?) dan juga para ajudan-ajudan; sekretaris pribadi yaitu pak Mualliff nasution dan lain sebagainya. Sambil menanda tangani surat-surat tampak Bapak berselang-seling ngobrol-ngobrol dan ketawa-ketawa dengan para tetamu yang hadir sebagaimana biasanya. Karena tak kutemui hal-hal yang aneh sambil terus berfikir penuh tanda tanya aku kembali lagi duduk di teras depan kamar Bapak untuk meneruskan membaca koran...
Eh, tak lama kemudian lagi-lagi Bapak masuk ke dalam semak bahkan sekarang kelihatan tergopoh-gopoh turunnya dari tangga!! Dan... sebagaimana seperti tadi tak lama kemudian... ... kembali lagi naik tangga ke beranda... Pak Adung yang kebetulan mau masuk ke kamar Bapak sambil menjinjing jas dan pantolan kepresidenan yang baru saja ia seterika, cepat aku tegur...
- Pak Adung...! ... Bapak ngapain sih dari tadi bolak-balik aja ke pohonan saja?
v Pu-unan yang mana Mas? (Pu-unan = pohonan).
- Itu... tuh yang dekat tangga... semak daun ampelas...
v Nggak tahu ya Mas... (setelah berfikir agak lama) ... Ooooohhh... barangkali mau liat tawon yang ada di situ Mas, kalo nggak salah dulu di situ ada sarang tawonnya...
- Wuaaaahh... mana mungkin!! Maenya Presiden nyari tawon!! hi... hi... hi... (aku menyeringai ketawa). (maenya = masa, Bahasa Sunda).
v Lha... pan Bapak seneng minum madu... tapinya itu juga barangkali mas...
- Akh... sebodo dah, pokoknya saya mau mandi dulu...
Pak Adung, ambilin anduk dong!
v Ya... Mas!
Setelah selesai mandi aku segera berpakaian dan buru-buru kembali lagi duduk di beranda depan kamar Bapak karena ingin melihat apakah bapak masih saja mundar-mandir masuk semak pohon ampelas lagi. Astaga!! Ternyata memang demikian, begitu aku sampai di beranda aku lihat Bapak baru saja keluar dari dalam semak dan naik tangga ke beranda belakang Istana Merdeka. Benar-benar aku jadi penasaran dibuatnya!!!
Akhirnya karena bener-bener ingin tahu apa yang dilakukan oleh Bapak di dalam sema akupun memutuskan untuk hari itu aku tidak akan pergi ke mana-mana dahulu sampai aku bisa jumpai Bapak dan menanyakan hal tadi padanya.
Kurang lebih jam 2.30 siang bapak hendak masuk kembali ke kamar karena sudah selesai menerima tamu-tamunya. Buru-buru aku kejar dari belakang dan sebelum masuk cepat-cepat aku sapa...
- Pak!!
+ Yoo...!
-Eh... ehm... anu... aku mau – Eh... ehm... anu... aku mau... anu Pak, aku mau tanya...
+ Yo... soal apa?
- Enggak... Pak... itu... tadi... dari sini aku perhatikan Bapak kok mundar mandir saja masuk semak??!?
+ Hoh... kau ini mau tahu saja urusanku!!
- Bukannya mau tau... tapi kan... yah... eh... ya... rada... aneh!!!
+ Ho... ho... kau mau tahu???
Aku kencing di situ!!!
- ???!!!???... k... e... n... n... c... i... nngg...???!?
+ Yaaaa.. nguyuh!!... ha... ha... ha... (Bapak terbahak dan ngeloyor ke kamar!)
Duduk termangu-mangu sambil berfikir dalam-dalam akhirnya kutemukan jawaban mengapa bapak memilih semak daripada WC Istana yang indah yaitu karena jarak antara beranda belakang tempat penerimaan tamu ke WC tamu yang tersedia sangat jauh, kurang lebih 40m. Jarak ke WC kamar mandi Bapak dari beranda lebih jauh lagi, kurang lebih 50m jarak ke WC. Jarak ke WC kamar mandi adik-adikku dari beranda lebih-lebih lagi, yaitu kurang lebih 70 m. Jadi logis kalau yang dipilih semak-semak dekat tangga karena jaraknya hanya kurang lebih 5 m saja!!
Ketika aku sudah kembali lagi ke bandung dari adikku Mega aku mendapat kabar bahwa sekarang bukan hanya Bapak yang mempergunakan “W.C.” istimewa tadi, tapi juga para tamu-tamu dan para dubes asing!!
.............. Hebat nggak?!!?